Sebab, hanya manusia yang bisa bikin kebudayaan dan membangun peradaban luhur. Hanya manusia yang memungkinkan kualitasnya mencapai keutamaan tertinggi bahkan bisa lebih unggul daripada ras malaikat sekalipun. Manusia lahir dan hadir lengkap dengan perangkat hati dan akalnya, cita-cita, harapan, sekaligus kecemasannya.
Ini juga mungkin yang bikin iri kerumunan satwa sehingga sejatinya keinginan yang terpendam dalam palung nafsunya sepanjang masa adalah menjadi manusia. Minimal terbaca melalui O (Gramedia Pustaka Utama, 2016), novel menarik karya novelis cemerlang Eka Kurniawan. Dengan lihai Eka mengorek sampai ke akarnya hasrat terdalam kerumunan binatang yang direpresentasikan dari sekelompok kera adalah menjadi manusia. Bahkan tidak tanggung-tanggung, cita-citanya menjadi kaisar dangdut seperti Rhoma Irama.
Menjadi penyanyi dangdut bagi Entang Kosasih dalam cerita O merupakan harapan tertinggi dengan imaji di belakangnya: popularitas, uang melimpah, dikelilingi perempuan-perempuan sintal, dan selebihnya bisa mendaftar menjadi anggota Dewan dan atau bahkan sekalian bikin partai sendiri. Partai yang dibayangkan dapat menjadi idola kaum muda sekaligus menjadi penyalur aspirasi massa negeri kepulauan yang memang arus utama hobinya mendengarkan musik dangdut dengan syair mudah dipahami dan melambangkan bocoran mimpi hidupnya!
Konon, atraksi topeng monyet di setiap pengkolan jalan dan perempatan lampu merah yang mampu menirukan tingkah manusia sesungguhnya adalah ekspresi terpendam dari keinginan mereka. Bukan sekadar replika, melainkan luapan "bawah sadar" tentang angan-angannya untuk menjadi "khalifatullah". Maka, ditirukannya cara naik motor, menyanyi, memakai payung, mengenakan topi dan baju, mengisap rokok, menjadi pengantin, dan seterusnya. Ketika seseorang kemudian berbaik hati melemparkan uang recehan, kera tidak merasa terhinakan karena uang itu justru balik menghina para pawang dan pemilik kera, termasuk secara struktural menghina negara yang tidak mampu menampilkan fungsinya secara optimal, sehingga membiarkan kera berkeliaran tak karuan di jalanan dan rakyatnya menyiksa ternak tak berdosa.
Bukankah yang jadi rujukan para kera itu adalah sebuah pengalaman spiritual ketika Armo Gundul mampu jadi manusia pada zaman ketika para wali memegang kuasa? Sosok kera yang pada masanya dapat menjadi andalan umat untuk menghancurkan segala bentuk kezaliman, serta membabat ihwal yang dipandang kemungkaran dengan hanya bersenjatakan pentungan dan pekik penuh kebencian.
Karena manusia dianggap mulia, maka ini juga tampaknya cikal bakal teori evolusi yang digagas Charles Darwin itu. Dari sejenis kera primitif, lambat tetapi pasti mencapai puncak kesempurnaan menjadi wujud manusia. Dari melata, merangkak, kemudian tegak berdiri sempurna.
Terpelanting
Namun pada sisi lainnya, yang acapkali terjadi adalah potret serba paradoks. Manusia menjadi rujukan satwa, sementara manusianya sendiri lebih berminat menjadi satwa. Hari ini seharusnya teori Darwin itu dibalik, manusia menjadi kera! The survival of the fittest melambangkan tentang ayat-ayat keserakahan di mana langkah manusia lebih menjurus ke arah hewan. Menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan.
Kita tak dapat membayangkan dan mustahil dilakukan oleh binatang tentang gambaran buram pembunuhan terencana, aksi teror yang menghabisi sesama mereka, rumah ibadah dibumihanguskan, agama dijadikan atas nama untuk mensahihkan darah mereka yang berbeda pemahaman dan pilihan keyakinan.
Selain itu, korupsi dilakukan dalam jumlah hitungan angka yang nyaris tak masuk akal dan lebih absurd lagi dilakukan oleh kaum penguasa yang justru diangkat rakyatnya sendiri agar menyejahterakan mereka, aktivis partai yang tak pernah jera membajak anggaran tetapi selalu datang setiap lima tahun sekali mengunjungi daerah pemilihannya dengan wajah nyaris suci dan tanpa dosa, atau para gubernur dan bupati yang mengelola daerahnya secara asal-asalan dan hanya serius dalam satu hal: korupsi untuk memperkaya diri dan kelompoknya!
Mana mungkin terjadi di dunia satwa seorang pemimpin yang rela memenggal kawan dan rakyatnya sendiri dalam jumlah ribuan, tetapi masih dianggap pahlawan oleh kawan-kawan separtai bahkan dipandang pejuang oleh rakyat di negara lain yang alam pikirannya masih terbenam dalam fantasi politik arkaik metafisik abad pertengahan.
Saya tak dapat membayangkan dan tak mungkin ada di semesta ternak, kerumunan binatang yang paling liar sekalipun dan berdomisili di rimba misalnya, di mana satu sama lain saling mewariskan kebencian secara permanen. Bisa jadi binatang lebih sportif, ketika kalah maka dengan lapang mengakui lawannya, mundur dan atau lari dan tak pernah mengganggunya lagi kecuali misalnya kelak di kemudian hari ketika sudah memiliki kekuatan lebih hebat.
Mereka lebih kesatria memanggungkan pertempuran itu, dilakukan head to head tanpa melibatkan kaum dan pasukannya apalagi memprovokasi kader-kadernya untuk secara laten menanamkan permusuhan abadi sampai kematiannya. Hanya ada di semesta manusia orang kalah bertanding kemudian merusak pemenangnya setiap saat dengan mengandalkan fitnah, caci maki, dan pikiran jahiliah.
Mungkin kita harus memeriksa kembali senarai peribahasa di mana perbuatan-perbuatan buruk itu dinisbatkan kepada binatang padahal manusia justru lebih buruk. Sebut saja misalnya anjing menggonggong kafilah berlalu, buaya darat, seperti anjing dengan kucing, seperti lintah mengisap darah, musang berbulu ayam, kuda lepas dari pingitan, bagai kambing dalam biduk, musang berbulu ayam, dan sebagainya. Kasihan binatang hanya menjadi "kambing hitam" dari perilaku manusia yang lebih hitam dan lebih kambing.
Kompleksitas
Ternyata manusia adalah makhluk yang kompleks. Alexis Carrel dalam Man the Unknown menyebut manusia sebagai ras yang sangat sukar secara ontologis terungkapkan rahasia kediriannya, penjelasan hakikat manusia belum banyak mengalami kemajuan, satu misteri tersibak maka di hadapannya telah muncul lipatan misteri lain dan demikian seterusnya. Syarah manusia tidak pernah memuaskan dan selamanya tak pernah selesai. Sastrawan, penyair, agamawan, dan filsuf hanya berhasil memunculkan manusia secara fragmentaris, bukan holistik.
Dalam diri manusia tersimpan potensi menjadi mulia sekaligus menjadi sangat hina dina. Kemungkinannya naik ke puncak paling luhur atau meluncur terbenam ke dasar limbo paling nadir. Manusia yang memiliki daulat politik (Aristoteles), akal (Descartes), roh (Hegel), kebebasan (Sartre), religius (Soren Kierkegaard), kebersamaan (Martin Buber), dan cinta kasih (Levinas), tetapi semua potensi itu menjadi sama sekali mubazir ketika manusia lebih berminat mem bikin lakon penuh angkara dan nafsu keserakahan.
ASEP SALAHUDIN
DEKAN FAKULTAS SYARIAH IAILM PESANTREN SURYALAYA, TASIKMALAYA; DOSEN DI FISS UNIVERSITAS PASUNDAN, BANDUNG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Menjadi Satwa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar