Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 Agustus 2016

Satu Dekade UU Kewarganegaraan (A AHSIN THOHARI)

Pada 1 Agustus 2016 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI genap berusia satu dekade, sebuah usia yang belum dapat dikatakan panjang untuk ukuran berlakunya sebuah undang-undang. 

Namun, UU Kewarganegaraan itu sudah banyak mengantarkan kita keluar dari krisis hukum kewarganegaraan yang terjadi pada masa lalu. Surat Bukti Kewarganegaraan RI, Surat Keterangan Kewarganegaraan RI, atau dokumen irasional lain yang pernah dianggap ekspresi politik segregasi pemerintahan Orde Baru terhadap etnisitas Tionghoa tak lagi diberlakukan.  

Politik hukum yang terkandung dalam UU Kewarganegaraan ini amat progresif jika kita mengukurnya dengan UU Kewarganegaraan RI sebelumnya, UU No 62/1958, yang bermuatan ketentuan diskriminatif, kurang menjamin hak-hak asasi manusia (HAM), kesetaraan, dan perlindungan perempuan atau anak.

Tambahan pula, UU No 62/1958 telah kehilangan pijakan konstitusionalnya setelah amandemen UUD 1945, khususnya amandemen kedua, yang mengamanatkan agar setiap orang berhak atas status kewarganegaraan (Pasal 28D Ayat 4). Dengan demikian, hak atas status kewarganegaraan-selain merupakan HAM setiap orang-telah menjadi hak konstitusional yang diartikan sebagai hak yang diatur di dalam UUD 1945 dengan akibat negara memikul tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan mempromosikannya serta berkonsekuensi hukum saat negara abai.

Tolok ukur legal

UU Kewarganegaraan telah menghapus sekat-sekat primordialisme yang berbasis etnisitas dalam menentukan kewarganegaraan seseorang. Misalnya, parameter yang dipakai menentukan bahwa seseorang termasuk "orang-orang bangsa Indonesia asli" adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia (WNI) sejak kelahirannya dan tak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.

Etnisitas seseorang hampir tak punya peran sama sekali dalam mengafirmasi kewarganegaraan seseorang karena tolok ukur legal yang lebih obyektif telah menggantikannya. Pasal 4A UU Kewarganegaraan menyatakan bahwa yang termasuk WNI adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI dengan negara lain sebelum UU Kewarganegaraan berlaku sudah menjadi WNI.

Maka, semestinya kita tak perlu lagi mempertanyakan kewarganegaraan para keturunan Tionghoa yang telah tinggal di wilayah RI secara turun-temurun. Rezim hukum kewarganegaraan kita menganut stelsel pasif. Orang tak perlu melakukan perbuatan hukum apa pun untuk diakui sebagai WNI jika memang terlahir sebagai WNI.

Hak konstitusional atas status kewarganegaraan bagi orang- orang yang terlahir sebagai WNI tidak perlu diklaim dengan tindakan administratif apa pun karena ia sudah inheren-intrinsik dalam diri setiap warga negara. Meskipun demikian, atas nama kepentingan administrasi kependudukan, negara bisa mengendalikan sifat inheren-intrinsik dari hak konstitusional atas status kewarganegaraan itu tanpa harus mendewakan aspek administratif-proseduralnya.

Pekerjaan rumah

Secara umum implementasi UU Kewarganegaraan berjalan cukup baik. Namun tidak berarti ia terlaksana secara sempurna tanpa cacat sedikit pun. Saat ini masih ada ribuan orang keturunan Indonesia di Filipina yang belum diakui secara legal sebagai WNI. Pada saat yang sama Filipina juga tak mengakui mereka sebagai warga negaranya. Tanpa kewarganegaraan adalah kondisi yang menghantui sepanjang hidup mereka. Ini merupakan pekerjaan rumah pemerintah di bidang hukum kewarganegaraan.

Beberapa waktu lalu Pemerintah Filipina dengan bantuan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) pernah mengadakan pendataan orang- orang keturunan Indonesia melalui program Rencana Aksi Nasional Filipina untuk Mengakhiri Tanpa Kewarganegaraan. Meskipun demikian, program ini tak menolong apa pun bagi mereka -yang kebanyakan merupakan generasi kedua atau ketiga yang lahir di Filipina-karena tetap tidak memperoleh pengakuan sebagai warga negara Filipina.

Kenyataan seperti ini menempatkan mereka dalam kondisi rentan karena tak memungkinkan mereka mengakses hak-hak dasar, perlindungan hukum, dan teringkari kehidupan sosialnya. Bahkan, mereka juga rentan jadi korban kejahatan lintas negara, terutama perdagangan manusia. Hal ini bisa menjadi bom waktu pada masa-masa yang akan datang dan merugikan Indonesia.

Karena itu, pemerintah seharusnya tidak menganggap remeh persoalan ini. Harus ada kemauan politik menuntaskan kewarganegaraan orang-orang keturunan Indonesia dengan mengoptimalkan peran-peran Kementerian Luar Negeri yang bertanggung jawab atas urusan diplomatik dan Kementerian Hukum dan HAM yang bertanggung jawab atas urusan kewarganegaraan dan keimigrasian.  

Program penegasan

Memang UU Kewarganegaraan tidak mengatur secara khusus untuk memberi kepastian hukum pada orang keturunan Indonesia tanpa dokumen dan, karenanya, disebut imigran ilegal yang tinggal di luar wilayah RI.

Namun, dalam praktiknya, Pemerintah RI pernah melakukan program penegasan kewarganegaraan RI di Malaysia dan Arab Saudi terhadap orang-orang yangde jure tidak diakui sebagai WNI berdasarkan berlakunya UU Kewarganegaraan meskipun de factoadalah orang Indonesia karena keturunan (ius sanguinis) dan negara yang ditinggali juga tidak mengakuinya sebagai warga negara.

Karena mereka semua adalah manusia, tidak selayaknyalah negara mengabaikan  hak konstitusional mereka, hak atas status kewarganegaraan.

A AHSIN THOHARI

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Satu DekadeUU Kewarganegaraan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger