Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 14 Juni 2014

TAJUK RENCANA: Kepastian Aturan Pilpres (Kompas)

PEMILIHAN presiden langsung telah dilaksanakan dua kali. Untuk ketiga kalinya akan dilangsungkan 9 Juli 2014. Dua pasangan akan berkompetisi.

Pemilu Presiden 2004 diikuti lima pasangan calon dan memunculkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Pemilu 2004 berlangsung dua putaran yang menghadapkan pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla melawan Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi pada putaran kedua. Adapun pada Pemilu 2009 yang diikuti tiga pasangan calon menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai pemenang. Pemilu berlangsung satu putaran.

Pada dua pemilu terdahulu, tahun 2004 dan 2009, tak ada kegaduhan soal aturan pemenang pemilu presiden. Diskursus itu tak muncul karena kontestasi Pemilu Presiden 2004 dan 2009 diikuti lebih dari dua calon presiden dan sosok Yudhoyono merupakan figur sentral yang kuat.

Sekarang situasinya berbeda. Dalam Pemilu 9 Juli hanya dua calon yang bersaing, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Karena persaingan ketat dan hanya dua calon itulah, tafsir pemenang pemilu presiden didiskusikan.

Konstitusi ataupun UU Pemilihan Presiden memang membuka ruang perdebatan. Konstitusi dan UU Pemilu Presiden menegaskan, pasangan calon terpilih adalah pasangan yang memperoleh suara 50 persen lebih dari jumlah suara dalam pemilihan presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar pada lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Sejumlah ahli menafsirkan dua syarat penetapan presiden itu diasumsikan jika pilpres diikuti lebih dari dua calon, seperti pada 2004 dan 2009. Jika dua syarat itu tak dipenuhi, dilangsungkan pemilu putaran kedua yang diikuti dua pasangan calon pemenang pertama dan kedua. Jika pemilu presiden diikuti dua pasangan calon, seperti yang terjadi pada 9 Juli 2014, penetapan penghitungan hanya berdasarkan perolehan suara secara nasional. Namun, ada pendapat yang mengatakan, kedua syarat— perolehan suara nasional ataupun sebaran suara 20 persen di setengah jumlah provinsi—tetap harus diberlakukan.

Membaca semangat Perubahan UUD 1945 dan sebagaimana tecermin dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, memang sudah ada perdebatan soal penetapan pemilu presiden. Ada yang menghendaki mayoritas sederhana, tetapi ada yang menghendaki selain perolehan suara nasional juga sebaran di setengah provinsi agar presiden terpilih mempunyai legitimasi yang kuat.

Pro kontra yang terjadi memperkaya pemikiran kita. Namun, yang pasti perlu kepastian tafsir mana yang akan dipakai sebelum 9 Juli. Dan, itu adalah domain dari Mahkamah Konstitusi. Dalam memberikan tafsir itu MK tentunya perlu mempertimbangkan faktor efisiensi, khususnya jika calon presiden hanya dua orang.

 
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007204263
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger