Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 03 Agustus 2016

Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (JUNANTO HERDIAWAN)

Ada optimisme bercampur kekhawatiran saat memandang kondisi perekonomian Indonesia saat ini.

DIDIE SW

Di satu sisi, kita melihat perbaikan beberapa indikator ekonomi, seperti inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan terjaga, cadangan devisa meningkat, nilai tukar rupiah stabil, dan indeks harga saham membaik. Namun di sisi lain, kita juga dihadapkan pada realitas akan masih terbatasnya pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. Dalam pertemuan antara pelaku pasar keuangan dan analis ekonomi dengan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, di Hongkong pada 22 Juli, tampak bahwa kondisi ekonomi Indonesia menjadi perhatian serius pelaku ekonomi asing. Umumnya mereka menanyakan respons kebijakan pemerintah dan BI dalam menghadapi situasi saat ini.

Berbagai kekhawatiran itu kiranya bisa dipahami karena kita sedang menghadapi lanskap perekonomian dunia yang berubah drastis. Belum selesai kita menghitung penuh dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), melemahnya ekonomi Tiongkok, dan harga komoditas dunia yang masih rendah, kita sudah dihadapkan pada rentetan risiko sosial politik global. Percobaan kudeta di Turki, aksi terorisme di Nice, Perancis, hingga kasus penembakan di Jerman telah membuat pelaku pasar cemas dan semakin berhati-hati.

Di dalam negeri, tantangan juga tidak mudah. Setelah pada triwulan I-2016 perekonomian tumbuh sebesar 4,92 persen, pada triwulan II-2016 pertumbuhan ekonomi diperkirakan juga masih terbatas.Perbaikan konsumsi rumah tangga sudah mulai tampak, tetapi belum optimal. Di satu sisi, penjualan eceran tumbuh membaik dan penjualan mobil menunjukkan peningkatan. Namun di sisi lain, perbaikan daya beli masyarakat belum optimal, antara lain tecermin dari Nilai Tukar Petani dan Upah Riil Buruh Bangunan dan Tani yang masih terbatas.

Sementara itu, pertumbuhan investasi, khususnya nonbangunan, juga belum menunjukkan perbaikan yang signifikan meski pemerintah telah agresif melakukan belanja modal dan barang. Dari sisi eksternal, ekspor kita juga diperkirakan masih lemah seiring dengan turunnya harga beberapa komoditas.

"Daya kejut"

Dengan keadaan seperti ini, ekonomi Indonesia membutuhkan semacam "daya kejut" agar dapat sontak berdenyut dan bergairah kembali. Upaya pemerintah memanfaatkan momentum dengan mengimplementasikan UU Pengampunan Pajak (tax amnesty), mengeluarkan rangkaian paket kebijakan, serta melakukan belanja pemerintah yang tinggi, perlu kita apresiasi sebagai sebuah upaya untuk memberi "daya kejut" itu.

Dalam beberapa pekan ini, kita merasakan gairah kembali terjadi di pasar keuangan. Sampai dengan pertengahan Juli 2016, Gubernur BI mengatakan bahwa dana asing yang masuk ke dalam pasar keuangan Indonesia mencapai Rp 110 triliun. Dana itu masuk melalui instrumen Surat Berharga Negara, pasar modal, ataupun obligasi. Kita melihat nilai tukar rupiah pada Juni 2016 mengalami penguatan sebesar 3,4 persen dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meningkat hingga sempat menembus level 5200. Selain itu, cadangan devisa Indonesia naik mencapai 109,8 miliar dollar AS. Pengesahan UU Pengampunan Pajak menjadi salah satu pemicu tumbuhnya optimisme dari pelaku pasar keuangan global.

Respons kebijakan moneter dalam menghadapi perkembangan tersebut adalah dengan memberi dukungan melalui pelonggaran kebijakan. Pada Juni 2016, BI telah melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan menurunkan bunga acuan (BI Rate) menjadi 6,5 persen dan melonggarkan kebijakan makroprudensial. Di sisi lain, BI juga melakukan perbaikan pada mekanisme transmisi kebijakan moneternya dengan memperkenalkan suku bunga kebijakan yang baru, yaitu BI 7-day Repo Rateberlaku mulai 19 Agustus 2016. Berlakunya suku bunga kebijakan baru ini bukan merupakan perubahan sikap (stance) kebijakan, melainkan sebuah upaya perbaikan mekanisme agar kebijakan moneter dapat ditransmisikan secara optimal di pasar keuangan.

Mengawal kebijakan

Berbagai kebijakan ini tentunya perlu terus dikawal dengan hati-hati agar dapat berjalan di lapangan, tetapi tak sampai mengganggu stabilitas sistem keuangan. Dana asing yang masuk ke pasar keuangan diharapkan dapat bermanfaat secara nyata di perekonomian. Apabila dana asing hanya mengendap di pasar keuangan, risiko pembalikan bisa terjadi setiap saat dan dalam jangka panjang manfaatnya kurang optimal bagi masyarakat.

Bisnis bank sentral adalah bisnis tentang stabilitas. Oleh karena itu, bank sentral meletakkan stabilitas lebih utama sebelum menempuh kebijakan lainnya. Hal ini didasari dari pengalaman sejumlah krisis ekonomi yang terjadi di dunia. Krisis keuangan terjadi karena pengambil kebijakan alpa dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Di sinilah pentingnya bank sentral juga menjalankan kebijakan makroprudensial, yaitu kebijakanyang diarahkan agar stabilitas sistem keuangan tetap terjaga. Langkah yang dilakukan dalam kebijakan makroprudensial ibarat dokter yang melakukan general check-up secara menyeluruh pada tubuh pasien. Berbagai indikator kestabilan dimonitor, dites, dan diuji. Apabila ditemukan indikasi risiko, berbagai langkah antisipasi akan ditempuh, hingga pengobatan yang diperlukan.

Laporan Stabilitas Sistem Keuangan yang diterbitkan BI merangkum secara transparan berbagai indikator risiko pada sistem keuangan, seperti tekanan nilai tukar, tekanan pasar keuangan, dan risiko sistemik perbankan. Penilaian dan pemantauan terhadap perbankan dan lembaga keuangan juga dilakukan secara rutin, bahkan jika diperlukan BI dapat melakukan pemeriksaan tematik, baik sendiri maupun bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan demikian, risiko kegagalan dalam sistem keuangan dapat dideteksi secara dini. Berbagai proses ini juga dituangkan dalam UU No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).

Sampai denganJuli 2016, stabilitas sistem keuangan Indonesia masih terjaga dengan baik. Beberapa indikator yang dapat dilihat masyarakat, yaitu rasio kecukupan modal(CAR) dan rasio kredit bermasalah (NPL), masih dalam batas aman. Namun, kita perlu mencermati penyaluran kredit yang belum optimal. Sampai dengan April 2016, pertumbuhan kredit masih melambat, demikian pula dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Dengan adanya monitoring seperti di atas, langkah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai kebijakan saat ini kiranya dapat ditanggapi dengan optimistis.

Perhatian pada stabilitas sistem keuangan diharapkan mampu mengurangi kekhawatiran dari pelaku pasar terhadap risiko krisis yang muncul ke depan.

JUNANTO HERDIAWAN, DEPUTI DIREKTUR DEPARTEMEN KOMUNIKASI BANK INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan".Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger