Yang terhormat Prof Bambang PS Brodjonegoro, yang sekarang menjabat Kepala Bappenas, agar program pembangunan berhasil, saya mengusulkan Program Modernisasi Industri Rakyat masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025.
Masalah utama ekonomi kita adalah rendahnya produktivitas rakyat. Masalah ini tidak bisa hanya diatasi dengan menggunakan pendekatan ekonomi moneter semata dan hanya dapat diobati dengan tindakan modernisasi industri rakyat. Modernisasi industri rakyat adalah mengubah cara rakyat berproduksi yang masih primitif menjadi cara produksi yang modern.
Industri modern digerakkan oleh bekerjanya pabrik modern Toyota, misalnya, hanya membawa pabrik modern pembuat mobil ke Indonesia, selebihnya dalam proses produksi sampai selesai dikerjakan oleh karyawan orang Indonesia. Ternyata yang mendidik karyawan Indonesia hingga mampu menghasilkan mobil adalah pabrik modernnya. Kalau karyawan ini pindah ke pabrik tahu, mereka hanya akan mampu menghasilkan tahu.
Jadi kalau kita hendak memodernkan industri rakyat, buatkanlah model pabrik modern untuk setiap produk. Model inilah yang akan memandu dan mendidik rakyat untuk mampu memproduksi barang secara modern. Model dapat diperbanyak sampai ribuan, sesuai kebutuhan.
Pemerintah tinggal menyediakan tukang untuk membuat model pabrik modern lalu kepemilikannya disedekahkan kepada rakyat. Para pemilik pabrik modern ini cukup didampingi satu sampai dua bulan, hingga akhirnya mahir menjalankan sistem yang ada.
EDDY OM BOEKOESOE
Wakil Ketua Bidang Perdagangan dan Industri DPP IAEI Indonesia, Jalan Salak, Cawang II, Jakarta 13630
Pengelolaan BUMN
Harian Kompas (Sabtu 13/8) memuat berita "Enam Perusahaan Induk Perkuat BUMN" sebagai paradigma baru pengelolaan BUMN sebagai korporasi bisnis. Sudah lama gagasan ini ingin saya ajukan, syukurlah muncul tindakan konkret dari Presiden Joko Widodo mengenai pelaksanaannya.
Menurut saya, Kementerian BUMN perlu segera mewujudkan BUMN sebagai agen pembangunan. Caranya: minimal 55 persen dari setiap cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara (Kompas, 2/6). Dengan demikian, pemerintah mampu mengendalikan programnya.
Kementerian BUMN dapat menjadisuper-holding-body, mendayagunakan pegawai yang kompeten untuk kesejahteraan rakyat. Pegawai BUMN terukur efektivitas dan efisiensinya melalui laporan keuangan dan perbandingan industri sejenis.
Perusahaan induk perlu ditambah minimum tiga lagi, yaitu bidang perkebunan, kehutanan, dan pelabuhan (udara dan laut). Dana repatriasi dengan amnesti pajak dapat digunakan untuk menambah modal BUMN. Dua super-holding raksasa dapat menjadi acuan, yaitu Temasek, Singapura, dan Khazanah Nasional Berhad, Malaysia.
Untuk pemerataan kepemilikan, pendapatan, dan lain-lain, Menteri BUMN bekerja sama dengan Menteri Koperasi dan UKM mendorong pengembangan koperasi. Menteri BUMN secara bertahap hingga minimal 55 persen memfasilitasi industri hilirnya agar dikelola koperasi. Kedua kementerian itu harus bersinergi untuk kesejahteraan rakyat.
Maka undang-undang dan revitalisasi koperasi, terutama di sektor riil, harus segera diselesaikan. Demikian juga dengan rasionalisasi dan perampingan organisasi kementerian dan lembaga nonstruktural (LNS).
HASIHOLAN SIAGIAN
Pasar Minggu, Jaksel
Layanan Buruk
Saya ke Denpasar pada 19 Juli 2016 menggunakan AirAsia, pesawat QZ 7510 pukul 05.20. Masuk pesawat baru pukul 09.00, di dalam pesawat satu jam, tetapi ternyata pesawat tidak jadi berangkat dengan berbagai alasan.
Saya mendapat voucher delay dengan code QZ75100501930066 (booking NDZ 92 C). Pada 22 Juli 2016 sampai menulis surat ini, upaya pencairan tidak berhasil. Saya sudah mencoba mencairkanvoucher tersebut ke Bank Mandiri, AirAsia cabang Sarinah tiga kali, bahkan via telepon dua kali ke Layanan Pelanggan AirAsia dan Asuransi CIU.
Jawabannya hanya berputar-putar antara: "Tunggu 3 hari", "Sabar untuk 2 x 24 jam", "Tunggu 10 menit nanti ditelepon".
Saya disarankan ke sana-ke sini, tetapivoucher delay AirAsia tetap tidak bisa dicairkan. Apa yang harus saya lakukan?
IVAN NIRIA
Gang Karung, Angke, Jakarta Barat
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar