Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Agustus 2016

TAJUK RENCANA: Akihito dan Kesetaraan (Kompas)

Ini periode sangat menentukan di era Jepang modern. Kaisar Akihito (82), yang menyandang kekaisaran selama 28 tahun, menyatakan ingin "pensiun".

Dengan alasan kesehatan, Akihito menyampaikan keinginan itu melalui pidato yang disiarkan secara langsung. Ini merupakan kejadian langka karena merupakan pidato kedua sepanjang kekaisaran Akihito. Jarangnya kaisar berbicara langsung kepada rakyat merupakan warisan dari tradisi panjang monarki tertua di dunia itu, yang telah memiliki 125 kaisar dalam kurun waktu 2.700 tahun.

Ayah Akihito, Kaisar Hirohito, misalnya, sepanjang hidupnya hanya pernah sekali berpidato kepada rakyat, yaitu ketika Jepang mengaku kalah dalam Perang Dunia II. Rakyat Jepang berlutut mendengar suara kaisarnya yang dianggap sebagai keturunan dewa. Amerika Serikat kemudian mencopoti semua kewenangan politik kaisar Jepang, yang kini hanya memiliki peran seremonial.

Akihito juga menciptakan tradisi baru. Tidak seperti para pendahulunya yang memiliki puluhan selir, Kaisar Akihito tidak memiliki selir dan menikahi perempuan dari kalangan biasa. Akihito menikah dengan Michiko Shoda pada tahun 1956.

Keinginan Akihito "pensiun" terkendala UU Rumah Tangga Kekaisaran yang mewajibkan seorang kaisar mengabdi sampai akhir hayat. Akihito tidak secara terbuka meminta parlemen mengubah UU, karena itu akan dianggap "intervensi politik", tetapi ia mencoba menyentuh hati rakyat Jepang. Dan upayanya berhasil. Dalam berbagai jajak pendapat, lebih dari 80 persen rakyat mendukung keinginan Akihito mundur dan digantikan putranya, Pangeran Naruhito (56), yang beristrikan Putri Masako.

Perdana Menteri Shinzo Abe menyatakan akan mempertimbangkan permintaan Akihito dan akan membicarakannya dengan parlemen. Namun, proses perubahan UU akan membawa akibat pada sejumlah isu sensitif, antara lain apakah seorang perempuan bisa dinobatkan sebagai kaisar? Alasannya ada. Jepang pernah memiliki delapan kaisar perempuan (enam di tahun 593-770, dua di era Edo). Juga satu-satunya keturunan pasangan Naruhito-Asako adalah Putri Aiko yang kini berusia 15 tahun.

Sebagai negara maju di era modern, Jepang masih relatif "tertinggal" dalam soal kesetaraan perempuan. Baru bulan lalu terobosan terjadi, ketika untuk pertama kalinya Tokyo dipimpin seorang gubernur perempuan, Yuriko Koike, dan Menteri Pertahanan dijabat oleh Tomomi Inada.

Namun, di dalam istana, jalan itu masih panjang. "Korban"-nya adalah Putri Masako, diplomat lulusan Universitas Harvard dan Oxford yang menguasai sejumlah bahasa asing. Ia menderita depresi kronis, bukan saja karena kungkungan ketat istana, melainkan juga karena tekanan besar melahirkan bayi laki-laki.

Jika permintaan Akihito dikabulkan parlemen, tinggal selangkah lagi membuka debat publik soal kemungkinan perempuan menjadi kaisar. Hal ini akan mengubah total wajah kekaisaran Jepang di masa depan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Akihito dan Kesetaraan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger