Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Agustus 2016

TAJUK RENCANA: Ketika Negara Absen (Kompas)

Karut-marut distribusi obat menunjukkan ironi praktik berpemerintahan negara ini. Peredaran obat yang diatur ketat ternyata tidak terkontrol.

Laporan harian ini menunjukkan negara absen untuk urusan pengawasan distribusi obat. Obat yang seharusnya dikontrol secara ketat oleh pemerintah atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ternyata dapat diperoleh dengan mudah di pasaran. Melalui kemajuan teknologi komunikasi, obat-obatan bisa dibeli secara bebas. Semua itu bisa dibeli tanpa resep dokter.

UU No 36/2009 tentang Kesehatan sudah jelas. Pada Pasal 98 UU Kesehatan disebutkan, "Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan terjangkau". Pada Ayat 2 ditulis, "Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang menyimpan, mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat".

Apakah regulasi berjalan. Tidak! Di beberapa bagian di kota, warung atau kios obat-obatan berjejer secara terang- terangan. Tidak diketahui apakah kios itu ada izin atau tidak, atau si pemilik punya keahlian atau tidak. Tidak diketahui apakah penyimpanan obat itu sesuai dengan standar penyimpanan obat atau tidak. Ini menunjukkan abainya pemerintah terhadap distribusi obat-obatan.

Padahal, seperti dikatakan Guru Besar Ilmu Farmakologi dan Farmasi Klinis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zullies Ikawati, "Obat ilegal berpotensi tidak aman, juga palsu, karena tidak ada penilaian obyektif dan ilmiah dari ahli atau lembaga kompeten. Kemanjuran dan keamanannya pun tak terjamin" (Kompas, 9 Agustus 2016). Situasi ini membahayakan kesehatan masyarakat dan menimbulkan kerugian secara ekonomi.

Tak bisa dimungkiri skala ekonomi industri farmasi besar. Menurut catatan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, pasar produk farmasi tahun 2016 Rp 69,07 triliun akan menjadi Rp 102 triliun pada 2020. Sementara menurut data Organisasi Kesehatan Dunia, peredaran obat palsu di negara berkembang bisa mencapai 10-20 persen.

Negara berperan menegakkan aturan distribusi obat- obatan. Seperti dikatakan Lawrence Friedman, "The legal system is not a machine, it is run by human being." Friedman menyebut faktor manusia. Ketika otoritas pemerintah abai menegakkan aturan, maka UU Kesehatan tidak punya makna. Kebijakan pembangunan kesehatan tidak cukup dengan hanya Kartu Jakarta Sehat atau Kartu Indonesia Sehat, tetapi juga menegakkan kembali aturan soal tata niaga obat. Kita yakin, Presiden Joko Widodo, yang pernah mengatakan bahwa esensi demokrasi adalah mendengar, akan berbuat sesuatu untuk menertibkan tata niaga obat-obatan sebelum korban jatuh.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Ketika Negara Absen".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 komentar:

  1. Kak pengen kalimat fakta sama opininya yang ad di berita tersebut

    BalasHapus

Powered By Blogger