Imbauan diungkapkan terkait capaian program amnesti yang lebih lambat daripada perkiraan. Sebulan lebih sejak UU Pengampunan Pajak diberlakukan, kita melihat masih banyak wajib pajak (WP) yang kebingungan. Mereka mengaku ditakut-takuti agar mengikuti program ini, dengan intimidasi akan dikenai penalti lebih besar jika tidak segera mengikuti program ini.
Kita melihat, pemahaman yang tak utuh mengenai tata cara dan aturan main amnesti pajak membuat program ini lebih ditangkap sebagai "hantu menakutkan" sehingga manfaat yang akan diperoleh dari program ini jadi tenggelam.
Problem fiskal yang menuntut solusi segera—sehingga program amnesti pajak diberlakukan secara terburu-buru tanpa masa sosialisasi yang cukup, dan kepanikan aparat pajak yang dibebani target Rp 165 triliun sehingga mereka juga serampangan "menembaki WP" dan memberikan informasi yang tak jarang distortif dan menyesatkan publik— justru membuat WP dilanda kepanikan.
Berbagai stimulus yang ditawarkan pemerintah untuk memperlancar program ini tak direspons karena ancaman sanksi penalti lebih besar lebih mengemuka dalam setiap sosialisasi ketimbang insentif yang ditawarkan. Tanpa mengubah pendekatan menjadi lebih persuasif, program amnesti pajak dikhawatirkan akan terus tertatih-tatih dan target penerimaan dari amnesti pajak bisa terancam.
Keberhasilan program amnesti hanya bisa terealisasi jika program ini mampu menjaring sebanyak-banyaknya WP, dan pada saat yang sama membuat WP yang sebelumnya tak patuh menjadi patuh. Untuk itu, rezim pajak dan aparat sebagai ujung tombak pelayanan pajak harus mampu menawarkan kemudahan, insentif, kepastian hukum, dan keadilan bagi WP, bukan sebaliknya, menambah kebingungan.
Sebagai warga negara yang baik, kita semua dituntut untuk menunjukkan niat baik ikut berperan dalam pembangunan. Namun, rezim pajak sendiri harus mampu menghilangkan konotasi yang selama ini melekat, "berburu di kebun binatang", karena cenderung hanya mengejar WP patuh. Pajak seyogianya bisa menjadi instrumen pemerataan dan kesejahteraan, tanpa menanggalkan prinsip keadilan dan insentif, khususnya bagi WP patuh. Jangan sampai pajak tak memberi ruang bernapas, bahkan berkesan perampokan oleh negara. Rezim pajak yang berwibawa bukan yang memperlakukan warga negara dan wajib pajaknya seperti maling. Di sinilah seruan pendekatan persuasif dan bukan menakut-nakuti, apalagi mengancam, menjadi relevan.
Kita juga tak boleh melupakan integritas sistem pajak itu sendiri. Kita masih mendengar, ada upaya main mata dengan petugas dalam perhitungan tebusan amnesti. Integritas dan kredibilitas aparat pajak juga bagian penting terwujudnya program amnesti yang kredibel dan akuntabel.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Jangan Menakuti Wajib Pajak".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar