Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 01 Agustus 2016

TAJUK RENCANA: Mengapa Harus Terjadi (Kompas)

Mengapa harus terjadi? Begitu pertanyaan yang mengemuka ketika mendengar peristiwa— atau lebih pas tragedi—di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Menurut berita yang tersebar, terjadi amuk massa di Tanjung Balai pada hari Jumat (30/7) malam hingga Sabtu (31/7) dini hari karena perbedaan. Akibat amuk massa itu, 3 wihara, 8 kelenteng, dan 2 kantor yayasan di daerah itu rusak. Ada juga kendaraan bermotor yang dibakar. Syukurlah telah terjadi kesepakatan damai.

Namun, bukan kali ini saja peristiwa semacam itu, yang dipicu oleh perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), terjadi. Guncangan terhadap kerukunan beragama (atau unsur SARA yang lain) tidak bisa dianggap main- main. Sejarah menunjukkan bagaimana negara hancur ketika pluralisme, keberagaman, diabaikan. Ada begitu banyak contoh tentang hal itu. Sebut saja, misalnya, tragedi yang menghancurkan Balkan, Kashmir, Afganistan, dan juga Nigeria.

Padahal, negara kita, Indonesia, dibangun di atas fondasi perbedaan, mengambil bentuk kalimat klasik Majapahit "Bhinneka Tunggal Ika". Perbedaan menjadi perekat persatuan. Namun, peristiwa di Tanjung Balai mengingatkan, membangunkan, kita dari "tidur" bahwa fondasi itu agak rapuh. Perbedaan tidak lagi jadi perekat persatuan, tetapi penyebab gesekan sosial di masyarakat. Ada masalah dalam hal toleransi. Inilah masalah yang dihadapi Indonesia kekinian.

Kalau kita membuka hati dan pikiran lebih luas, akan terlihat bahwa toleransi merupakan bagian inheren, bagian yang melekat, dalam kehidupan manusia. Lewat toleransi, transformasi sosial terjadi. Apabila pintu itu tertutup, maka yang akan berkembang adalah kecenderungan sektarian dan putusnya relasi sosial. Akibatnya, hidup terasa semakin privat, padahal sesungguhnya adalah hidup bersama semakin retak karena setiap orang merasa terlalu nyaman, terlalu kerasan dalam bilik pribadinya masing-masing.

Tentu, kita tidak menginginkan hal itu terjadi, di tengah majunya teknologi komunikasi yang kadang membuat orang, masyarakat, terombang-ambing karena informasi yang asal dan kadang dipakai untuk membuat situasi tidak menentu. Memudarnya semangat pluralisme dan ikatan solidaritas hidup bersama di dalam keragaman ini merupakan hal yang fatal.

Mengapa? Bukankah dalam konteks keindonesiaan, pluralisme bukan semata-mata jadi alat bagi sebuah tujuan politik lainnya. Pluralisme pun bukanlah hidup demi tujuan pluralisme itu sendiri. Namun, pluralisme dalam konteks keindonesiaan menjadi alasan mengada bagi berdirinya Indonesia. Karena itu, kita prihatin, menyayangkan, mengapa tragedi Tanjung Balai harus terjadi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Mengapa Harus Terjadi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger