Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 15 September 2016

Kewarganegaraan (DANIEL DHAKIDAE)

etelah berada agak jauh, orang mulai melupakan ingar-bingar soal kewarganegaraan ganda seorang menteri yang masa jabatannya hanya berumur kurang dari sebulan. Apalagi, kasus pembatalan seorang anak sekolah menengah yang sedianya akan mendapatkan kebanggaan menaikkan bendera pusaka Republik Indonesia, tetapi hanya beberapa jam sebelumnya dibatalkan.

Mungkin kini saatnya melihat kembali soal itu sine ira et studio, tanpa amarah dan tanpa kepentingan apa pun, terutama karena soal lain di belakangnya. Soal di baliknya itu tidak lain dari suatu yang pelik, besar, yaitu kewarganegaraan yang menjadi inti-inti kehidupan kenegaraan di mana pun dan kapan pun. Tanpa memedulikan itu, negara bukan saja menjadi tak berarti, melainkan juga tidak berguna.

Kewarganegaraan aktif

Berbagai teori dikemukakan tentang kapan suatu negara berawal dan bagaimana warganya beraksi, salah satunya adalah teori kontrak sosial. Menjadi warga negara Indonesia dalam hubungan itu sama sekali bukan hasil kontrak Hobbesian, setelah keluar darithe state of nature, perang satu sama lain, membunuh satu sama lain demi kelangsungan hidup tiap-tiap orang dan kelompok, dan karena berkontrak disatukan dalam satu kesatuan organik menjadi negara.

Majapahit dianggap memainkan peran itu, tetapi tak ada gerak nasionalisme zaman Majapahit. Kalaupun ada, maka yang disebut imagined communities itu lebih berurusan dengan Jawa, bahkan Sumatera pun tidak. Penjajahan Belandalah yang menghancurkan state of nature, menurut pandangan kolonial, dan menyatukan semua unsurnya kira-kira pada tahun 1917 di bawah Pax Neerlandica yang dikomandoi Hindia Belanda.

Lantas apa yang menyebabkan semua kita merasa menjadi warga negara Indonesia? Tentu saja setelah kemerdekaan direbut dan negara merdeka diatur kembali melalui proses panjang sebelumnya. Dalam prosesnya sama sekali tidak strategis menyebut Boedi Oetomo sebagai awal karena Boedi Oetomo (1908) memberikan pusat perhatian kepada, sekurang-kurangnya, dua hal yang tak memungkinkan ke dalamnya diselinapkan paham kewarganegaraan, yaitu aristokrasi menjadi titik-pusatnya di Jawa, dan Jawa secara geografis dan etnik menjadi eksklusif bukan Nusantara-bahkan Madura pun tak dimasukkan ke dalamnya. Secara substansial Indische Partij (1912) membuka langkah itu sebagai kegiatan partai, tetapi karena namanya berbahasa Belanda dan lain-lain, popularitasnya memudar.

Dasar paling utama ialah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, kelanjutan Kongres Pemuda pertama (1926), yang boleh dikatakan suatu momen meninggalkan the Hobbesian state of nature, kalau terpaksa memakai konsep itu, dan menjalankan sesuatu menuju momen kenegaraan yang satu dan beradab. Apa inti kontrak kepemudaan itu? Tak lain pengakuan akan "Tanah Air", "Bangsa", "Bahasa" yang satu.

Semuanya mengandung konsekuensi teoretis bahwa setiap orang yang lahir di tanah ini, menjadi bagian bangsa ini, dan berbahasakan bahasanya adalah orang Indonesia. Itu berarti, tanpa mau terlibat dalam urusan teknis hukum, pengakuan akan ius soli tertanam kuat di sana. Akibatnya bagi anak-anak, yang berorangtua salah satunya asing, lahir di sini adalah warga negara Indonesia, sampai dia dewasa dan memilih kewarganegaraan sendiri, Indonesia atau asing.

Namun, ini semata-mata kewarganegaraan dalam arti statis yang tidak/kurang bermakna pada dasarnya. Kewarganegaraan adalah suatu proses dinamis, berkembang karena berinteraksi dengan dan ditentukan oleh banyak unsur lain, misalnya etika publik seperti keadilan, pengorbanan, dan kebebasan. Keadilan menuntut partisipasi dalam ekonomi dan politik yang seimbang dan setara; pengorbanan menuntut penyerahan diri kepada tugas kenegaraan; kebebasan menuntut pengakuan dan penghormatan bagi hak-hak dasar manusia.

Semuanya merumuskan kualitas kewarganegaraan dari waktu ke waktu. Makin tinggi hasil dialektika ini, semakin tinggi pula kualitas kewarganegaraan. Semakin adil, semakin aktif, dan semakin bebas semakin tinggi kualitas kewarganegaraan itu dalam apa yang sering disebut sebagai active citizenship.

Diaspora: rasa di rumah di tanah orang

Sisi lain dari kewarganegaraan adalah apa yang disebut sebagai diaspora. Terjemahan lurus diaspora adalahdispersion, tercerai-berai, tersebar sana-sini, tercecer. Paham ini dalam arti statis lebih berguna sebagai lema kamus bahasa, tetapi tidak/kurang bermakna secara sosial karena tidak jauh berbeda dari debu yang tercerai-berai disapu angin puyuh. Namun, diaspora pada awalnya menjadi sangat eksistensial karena berhubungan dengan, sekurang-kurangnya, tiga hal berikut ini.

Pertama, kaum Yahudi kuno yang kalah perang dan itu bukan sekadar berarti hancur tak berdaya tetapi penduduknya ditawan sebagai "harta" yang diambil pemenang perang, war booty, untuk menjadi budak, pekerja, dan lain-lain, dan dalam hubungan itu kaum Yahudi pertama kali dibawa ke Assyria atau Suriah sekarang (800 SM), dan kedua kalinya ke Babilonia (600 SM), Persia, Irak, dan Iran masa modern. Dalam hubungan itu, diaspora menjadi sentimental karena di sana ada kerinduan akan tanah air yang jauh dari tempat pembuangan. Namun, di pihak lain merangsang keterlibatan sentimental sampai dasawarsa-dasawarsa mutakhir, yang secara artistik musikal diperlihatkan dalam lagu populer yang dipopulerkan oleh Bonney M:

By the rivers of Babylon

There we sat down

Yeah... we wept

When we remembered Zion

Kedua, penghinaan dan kehinaan yang diwariskan turun-temurun, "how shall we sing the Lord's song in strange land": beribadah pun asing sebagai budak di tanah kafir, asing, dan aneh.

Ketiga, ada semacam rasa berkewajiban untuk mengangkat kehinaan menjadi kemuliaan dalam karya bermutu tinggi di wilayah asing, menjalankan trading yang berhasil di Babilon, Asiria, dan Alexandria. Diaspora yang kelihatan sederhana itu mengundang debat teoretis berbelit-belit dengan berbagai dimensi yang harus diperhatikan seperti yang historis, instrumentalis, dan konstruksionis. Apabila ditinjau dari segi historis, koloni besar orang Indonesia tak banyak meski kelompok besar yang dimigrasikan sebagai pekerja di Suriname bisa menjadi bahan menarik.

Sementara yang instrumentalis mungkin lebih mudah dikemukakan, tetapi sulit ditemukan secara administratif karena tersebar di mana-mana, seperti para pekerja biasa sampai ke tingkat tinggi seperti profesor universitas dan lain-lain yang lebih mempersoalkan biaya dan manfaat (cost and benefit) dibandingkan dengan negeri asal, tinggi rendahnya gaji, upah, dan lain-lain. Sedangkan yang konstruksionis akan lebih banyak berhubungan dengan kesatuan etnik dan simbolisasi kesatuan dan transformasinya ke dalam gerakan nasionalis dan lain-lain di tanah orang (Gabriel Sheffer, Diaspora Politics, At Home Abroad, 2006).

Apabila dilihat secara ketat dengan pendekatan atau gabungan pendekatan di atas, tidak pernah bisa dikatakan ada yang disebut diaspora Indonesia, yaitu mereka yang membentuk masyarakat khusus mengembangkan kultur bangsa ini, dalam suatu jenis hidup eksklusif dalam jumlah memadai, meskipun ada yang disebut dengan main-main oleh mahasiswa seperti "Kampung Melayu". Karena itu, pemakaian istilah "orang Indonesia diaspora" boleh dikatakan baru. Sangat sulit dicari di mana kelompok nasionalis Indonesia masa kini di tanah orang lain dengan cita-cita kolektif seperti itu.

Pemakaian baru meluaskan dan dalam hal lain lagi menyempitkan pengertian itu. Ketika diperluas yang dimaksudkan adalah orang Indonesia yang berada di luar negeri dan tidak bisa kembali ke tanah air Indonesia karena sudah betah di tanah orang, at home abroad. Ketika dipersempit, maka yang dimaksudkan terutama dalam political and bureaucratic parlance bahasa birokratik dan politik di sini adalah sekelompok kecil orang Indonesia dengan keahlian khusus dan dengan demikian mengandalkan harta dan pengetahuan miliknya dan semuanya sangat diperlukan di tanah asal.

Dengan demikian, diaspora lebih diartikan sebagai sekelompok orang yang menguasai moneyed capital, social capital, dan intellectual capital, sedangkan yang tidak masuk ke dalam kategori itu hampir-hampir tidak mendapat perhatian, yang untuk berterus terang diaspora dalam arti khusus ini hanya untuk yang kaya uang, kaya jaringan internasional, mahir dan pintar terutama dalam urusan dengan teknologi tinggi.

Dalam arti terakhir, diaspora menjadi eksklusif dan dalam keeksklusifannya paham itu menjadi terbatas, eksploitatif, dan dalam hubungan itu malah sulit dikerjakan karena memerlukan suatu administrasi yang kuat dan ketat, hal yang tidak/kurang dimiliki bangsa ini tentang diaspora, di seluruh dunia, terutama di negara besar seperti Amerika Serikat, Eropa, serta beberapa negeri Asia dan Australia. Kasus Arcandra menunjukkan kelemahan itu baik administratif maupun dari sisi intelijen.

Negara, kekuasaan, dan kewarganegaraan

Kasus seorang anak sekolah menengah yang dipanggil dan dihentikan dari cita-cita kecilnya menaikkan bendera pusaka karena masalah dwi-kewarganegaraan, Indonesia dan Perancis, menarik perhatian karena berhubungan dengan kebebasan seorang anak yang masih akan memilih kewarganegaraannya sendiri; dalam suatu sistem ius soli pada dasarnya dia diberikan kemungkinan menjadi warga negara Indonesia untuk sementara sebelum menginjak usia dewasa dan menentukannya sendiri.

Waruno Mahdi (Martin Aleida, Kompas, 10/9) hanya puncak gunung es dari ribuan ahli yang secara tidak adil di-"komuniskan" Orde Baru dan karena itu mendapat kesulitan luar biasa untuk kembali ke Tanah Air. Arcandra adalah kasus elitis tingkat tinggi yang memerankan soal diaspora dalam arti khusus seperti dikemukakan di atas. Diangkat dan dihentikan lagi sebagai menteri karena dwi-kewarganegaraan lebih menunjukkan hubungan kekuasaan dan bukan kewarganegaraan.

Namun, di sinilah letak hal yang begitu menarik tentang kewarganegaraan, yaitu ketika kekuasaan masuk ke dalam persamaan: kewarganegaraan, kekuasaan, dan rasa aman, rasa dilindungi, rasa di rumah, adalah konsekuensi logis dari sana.

Republik Roma kuno bisa jadi contoh seperti apa warga negaranya diperlakukan. Syahdan, Gubernur Sisilia, Gaius Verres, diajukan ke pengadilan karena kesewenang-wenangan, merampok harta warga provinsinya, korupsi, dan Cicero menjadi penuntut umum berdasarkan keputusan Senat. Verres dituduh membunuh warga negara Roma, Gavius, yang dituduhnya sebagai seorang mata-mata Spanyol. Ketika akan dibunuh, Gavius berteriak bahwa dia warga negara Roma. Terjadilah tuduhan berikut ini di pengadilan.

Cicero: Verres, Anda membunuh warga negara Roma!

Verres: Tidak! Dia seorang mata-mata busuk.

Cicero: Kalau Anda, Verres, ditahan di Persia atau di pedalaman India dan akan dieksekusi apa yang akan Anda teriakkan kalau bukan "civis romanus sum", saya warga negara Roma! Mengapa Anda terburu-buru membunuh orang ini? Bukankah teriakan kewarganegaraan itu menjadi alasan Anda menyelamatkan hidupnya barang sejam, sehari, sambil mencari tahu kebenarannya? ...Anda tidak membunuh Gavius, seorang yang tidak dikenal siapa pun, ... akan tetapi Anda membunuh prinsip bahwa orang Roma adalah orang merdeka" (Robert Harris, 2006, Imperium, A Novel of Ancient Rome).

Kewarganegaraan, dengan demikian, bukan persoalan teknis seperti paspor dan kartu tanda penduduk (KTP), melainkan suatu prinsip, konsep dinamis yang selalu berdialektik dengan banyak hal lain. Kewarganegaraan adalah prinsip tentang nasionalisme, patriotisme, kebebasan, kemerdekaan, dan terutama keadilan; karena, kewarganegaraan tanpa keadilan, untuk mengutip Sutardji Calzoum Bachri, sama seperti "jam kehilangan waktu, pisau kehilangan tikam".

DANIEL DHAKIDAE

Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma, Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Kewarganegaraan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger