Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 Oktober 2016

Kesepakatan Paris dan Indonesia (DODDY S SUKADRI)

Pada minggu kedua dan ketiga November 2016, semua mata akan tertuju ke kota Marrakesh, Maroko. Di sana, perwakilan 197 negara akan berkumpul untuk melanjutkan negosiasi perubahan iklim.

Pertemuan tahunan negara- negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim di bawah naungan PBB ini dikenal dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim. (COP- UNFCCC). Tahun ini merupakan pertemuan yang ke-22 setelah setahun sebelumnya diselenggarakan di Paris(COP-21) dan menghasilkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Indonesia pernah menjadi tuan rumah COP-13 tahun 2007 yang waktu itu diselenggarakan di Bali, dan menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan).

Satu pertanyaan yang merupakan jantung dari negosiasi kali ini adalah: "Bagaimana setiap negara bisa mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang cukup untuk secara kolektif akan mampu membatasi kenaikan suhu global 2 derajat celsius sehingga mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim?"

Setelah perjanjian baru perubahan iklim global disepakati tahun lalu di Paris, di Marrakesh akan diuji apakah komitmen setiap negara untuk menurunkan emisi GRK-nya—yang masing- masing dituangkan dalam National Determined Contribution (NDC)—akan benar-benar dapat dilaksanakan?

Kesepakatan Paris merupakan babak baru dalam sejarah negosiasi perubahan iklim yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Dua kesepakatan global sebelumnya, yaitu Protokol Kyoto tahun 1997 dan Rencana Aksi Bali tahun 2007, merupakan capaian penting dari sejarah perundingan perubahan iklim. Berbeda dengan dua kesepakatan ini, di dalam Kesepakatan Paris disebutkan bahwa semua negara berkewajiban menurunkan emisi GRK-nya, jadi tidak lagi hanya terbatas pada negara maju, tetapi juga menjadi kewajiban bagi negara berkembang.

Kesepakatan Paris mulai berlaku tahun 2020. Untuk itu diperlukan ratifikasi paling tidak oleh 55 negara pihak yang mewakili 55 persen emisi gas rumah kaca global. Sampai 5 Oktober 2016, jumlah negara pihak yang menyetujui Kesepakatan Paris adalah 74 negara. Jumlah ini mewakili 58,82 persen dari emisi gas rumah kaca global, dan ini berarti telah melewati ambang batas minimal yang dibutuhkan Kesepakatan Paris agar secara hukum bisa diakui sebagai kesepakatan internasional.

Kesepakatan Paris juga diharapkan dapat memberikan kontribusi penting dalam mengisi agenda ke-13 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030, yaitu dengan mengambil tindakan mendesak untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.

Kesiapan Indonesia

Saat ini Pemerintah Indonesia tengah mengupayakan ratifikasi Kesepakatan Paris untuk menjadi undang-undang. Walaupun sedikit terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain, tetapi komitmen Indonesia akan berdampak besar, baik terhadap kebijakan nasional maupun internasional.

Selama ini posisi Indonesia cukup diperhitungkan dan berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan penanganan perubahan iklim global karena kontribusi emisi GRK-nya yang cukup besar. Menurut catatan World Resource Institute (WRI), Indonesia merupakan penyumbang emisi GRK keenam terbesar di dunia setelah Tiongkok (terbesar di dunia), Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan Rusia. Walaupun emisi GRK Indonesia hanya sepersepuluhnya dibandingkan Tiongkok (tanpa kegiatan alih guna lahan dan kehutanan), tetapi masih cukup besar dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.

Kegiatan alih guna lahan dan kehutanan dianggap sebagai penyumbang terbesar emisi GRK di Indonesia, yaitu lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan kegiatan di luar sektor tersebut. Hal ini dikarenakan tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan, perambahan, serta pembukaan lahan berhutan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, serta sarana dan prasarana lainnya.

Di samping itu, kebakaran hutan dan lahan memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total emisi GRK Indonesia. Di luar kegiatan alih guna lahan dan kehutanan, sektor energi dan transportasi berkontribusi secara signifikan terhadap total emisi GRK Indonesia.

Menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sampai dengan 2030 sektor energi justru menjadi "juara pertama"dalam sumbangannya terhadap emisi GRK Indonesia dibandingkan alih guna lahan dan kehutanan. Logikanya, karena semakin terbatasnya lahan yang akan dialihgunakan untuk keperluan sektor lain, sementara kebutuhan energi akan terus meningkat berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk, kegiatan ekonomi, dan lain-lain. Secara umum, total emisi GRK nasional terkait dengan jumlah penduduk, produk domestik bruto (PDB), dan kebutuhan energi untuk industri dan transportasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, serta penggunaan dan jenis energi yang digunakan (energi terbarukan atau bukan).

Pemerintah telah merencanakan target penurunan emisi GRK nasionalsampai 2030 sebesar 29 persen apabila dilakukan dengan upaya sendiri (dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD, serta dana-dana lain yang tersedia di dalam negeri), dan sampai dengan 41 persen apabila dengan bantuan luar negeri. Yang akan menjadi kritis adalah penggunaan tingkat referensi emisi GRK apabila tidak berbuat apa-apa (business as usual/BAU) ketika dibandingkan dengan target emisi yang akan diturunkan.

Apabila perhitungan ini kurang/tidak bisa dipegang, semuanya akan salah dan target yang diharapkan tak pernah akan terjadi. Karena itu, kegiatan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi emisi GRK (measurement, reporting, and verification/MRV) menjadi salah satu faktor kunci dalam keberhasilan aksi penurunan emisi GRK nasional. Selanjutnya, membangun sistem MRV yang kredibel menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar bagi kita bersama.

Apa yang perlu dilakukan ke depan?

Pemerintah tengah bekerja keras untuk menurunkan emisi GRK, baik di tingkatnasional maupun provinsi dan kabupaten. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak dua tahun lalu membentuk Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, yang bertugas melaksanakan dan mengoordinasikan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, membangun sistem monitoring dan evaluasinya, mengatur dan membangun mekanisme pendanaannya, serta mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.

Selain itu, belum lama ini pemerintah juga telah membentuk Badan Restorasi Gambut, yang tugas utamanya memperbaiki lahan-lahan gambut yang telah rusak dan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan serta asap yang berkepanjangan setiap musim kemarau. Pemerintah tak mungkin bekerja sendirian tanpa dukungan cukup dan partisipasi aktif aktor di luar negara, yaitu kelompok pengusaha, LSM, akademisi, peneliti, dan masyarakat madani. Koordinasi pada hakikatnya tak semudah yang ditulis dan diucapkan, tetapi perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh, penuh kebersamaan, inovatif, dan dengan tingkat kemampuan kepemimpinan yang tinggi.

Adanya lebih dari satu kementerian/lembaga (K/L) yang menangani perubahan iklim, dalam kenyataannya tidak mempercepat aksi yang konkret di lapangan. Namun, justru sebaliknya, lebih banyak menghambat dalam pelaksanaannya. Apalagi, apabila K/L itu berada dalam satu tingkat yang sama, bahkan lebih rendah daripada K/L yang "diatur"-nya.

Tak seperti di Indonesia, di banyak negara lain—termasuk Pakistan, Uni Emirat Arab, Kanada, Inggris, dan Australia—telah lama dibentuk Kementerian Perubahan Iklim (atau bersatu dengan lingkungan) karena masalah ini dianggap penting untuk ditangani secara khusus dengan lebih serius. Alasan utamanya, perubahan iklim terkait kurun waktu yang panjang, bukan hanya 5 atau 10 tahun, melainkan jauh lebih lama dari itu, minimal 50 atau 100 tahun ke depan.

Oleh karena itu, masalah perubahan iklim juga perlu didukung legalitas lebih kuat. Bahkan, bukan hanya perubahan iklim, melainkan termasuk isu perdagangan karbon sebagai co-benefitdari aksi mitigasi perubahan iklim. Tampaknya sudah saatnya kita semua memikirkan kehadiran UU Perubahan Iklim dan Perdagangan Karbon di Indonesia.

DODDY S SUKADRI

Pengamat Perubahan Iklim; Negosiator di Beberapa Konferensi Perubahan Iklim Sedunia (COP-UNFCCC); Saat Ini Bekerja di United Nation Development Programme di Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Kesepakatan Paris dan Indonesia".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger