Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 Oktober 2016

Ditawan Oligarki Partai (REZA SYAWAWI)

Perhelatan pemilihan umum kepala daerah 2017 telah memasuki babak awal. Tahapan ini akan menjadi pijakan untuk melihat bagaimana kontestasi pilkada akan menjadi gelanggang gagasan/program atau hanya pertarungan modal dan pengaruh.

Hal ini cukup merisaukan, terlebih hasil Indeks Kapitalisme Kroni 2016 yang dirilisThe Economist menempatkan Indonesia dalam urutan ketujuh. Ini menyiratkan sektor politik masih menjadi bagian yang sangat rentan disalahgunakan untuk kepentingan pemodal tertentu.

Pilkada akan menjadi salah satu pintu masuk bagi pemodal untuk menentukan pemimpin politik yang dikendalikan kepentingan bisnis mereka. Simbiosis mutualisme antara pebisnis dan politisi, atau pebisnis yang "nyambi" sebagai politisi, akan berpeluang menjadi parasit dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah ke depan.Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat, penyelenggara pilkada, dan penegak hukum agar ikut serta mengawasi semua tahapan untuk mengimbangi dominasi elite partai politik dan pemodal dalam penyelenggaraan pilkada.

Tren korupsi

Jika ditelusuri ke belakang, tipologi korupsi yang paling merugikan negara selalu melibatkan dua aktor kunci, yaitu penguasa/ politisi dan pebisnis. Konteksnya pun beragam. Mulai dari korupsi anggaran (APBN/APBD) melalui proyek-proyek pemerintah, suap untuk mendapatkan izin/konsesi, hingga praktik memperdagangkan pengaruh dengan tujuan memberikan keuntungan bagi pebisnis tertentu.

Relasi pebisnis-politisi tidak selalu menimbulkan perbuatan yang melanggar hukum. Namun, ini cenderung disalahgunakan karena ketiadaan batasan etik tentang hubungan pebisnis-politisi. Secara hukum, batasan ini cukup tegas: sepanjang tidak memenuhi unsur pidana, seperti pemberian/penerimaan sesuatu (suap), melanggar hukum, dan merugikan keuangan/perekonomian negara.

Dalam perkembangannya, penyalahgunaan jabatan/kekuasaan untuk kepentingan bisnis bahkan sudah melampaui ranah kewenangan yang dimiliki. Misalnya dalam dugaan korupsi yang dilakukan Irman Gusman (IG) terkait kuota impor gula, padahal posisi IG sebagai Ketua DPD waktu itu sama sekali tidak berhubungan dengan tugas dan jabatannya.

Dalam konteks pilkada, hal ini juga patut dicermati lebih dalam, khususnya terkait keikutsertaan pebisnis dalam membiayai calon kepala daerah. Sekalipun praktik ini diperbolehkan oleh regulasi, perlu diawasi lebih ketat oleh publik, baik pada saat pencalonan maupun seusai pilkada.

Kebijakan dan keputusan kepala daerah yang menguntungkan pebisnis tertentu dapat dinilai sebagai kick back atas pembiayaan kampanye. Apalagi, hal tersebut memenuhi unsur perbuatan yang dapat dikenai pidana, seperti penyalahgunaan jabatan, melanggar hukum, dan merugikan negara.

Pembaruan parpol

Dalam laporan Indeks Negara Hukum 2014 yang dirilis World Justice Project, lembaga politik (DPR) dinilai publik sebagai institusi yang paling korup. Penilaian ini tentu saja relevan dengan maraknya kasus korupsi yang muncul ke publik, selain itu kondisi ini juga sangat kontras dengan keberadaannya sebagai institusi perwakilan rakyat.

Kondisi ini tentu saja tak terlepas dari buruknya pengelolaan partai di Indonesia. Kuasa parpol untuk mengisi jabatan-jabatan politik/publik strategis tidak diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas kelembagaan parpol. Salah satu aspek yang paling rentan dibarter dengan kepentingan bisnis adalah dalam konteks pencalonan kepala daerah.

Hampir semua partai tak punya mekanisme baku untuk menentukan calon kepala daerah. Di atas kertas, proses administrasi pendaftaran calon kepala daerah memang dijalankan, tetapi keputusan untuk menentukan calon sangat tertutup bagi publik.

Hal ini juga disebabkan oleh minimnya pengaturan di dalam UU Partai Politik tentang pencalonan pejabat publik. Undang-undang hanya menyebutkan bahwa penentuan calon yang diusulkan parpol melalui pemilihan umum dilakukan secara demokratis. Dalam implementasinya, hampir tidak ada ukuran yang jelas untuk menentukan apakah perekrutan yang dilakukan parpol telah memenuhi unsur demokratis atau tidak.

Situasi ini tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi, khususnya dalam hal perbaikan di internal parpol. Pengambilan keputusan strategis di parpol seharusnya menggunakan mekanisme yang akuntabel dan terbuka.

Perlu ada prosedur yang mengimbangi posisi politik dalam pengambilan kebijakan parpol. Anggota parpol yang menduduki jabatan struktural ataupun tidak sama-sama memiliki hak untuk ikut menentukan suatu keputusan. Termasuk anggota parpol yang sedang menduduki jabatan politik tertentu tidaklah lebihpowerfull dalam pengambilan keputusan di internal parpol ketimbang anggota yang tidak menduduki jabatan politik. Dari sisi eksternal juga sangat penting untuk mengimbangi kuatnya arus modal ke dalam parpol yang dapat mengeliminasi hak-hak anggota parpol.

Hal ini merupakan bagian kecil dari upaya pembaruan parpol yang dimulai dengan perbaikan dari sisi internal. Dengan demikian, secara institusional, partai dikendalikan semua anggota parpol, bukan oleh segelintir elite dan pemodal.

REZA SYAWAWI

Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Ditawan Oligarki Partai".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger