Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 14 Oktober 2016

Sidang Terbuka untuk Umum (TODUNG MULYA LUBIS)

Asas hukum yang berlaku secara universal adalah setiap sidang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Selain itu, peradilan yang cepat, murah, dan sederhana menjadi rujukan dalam setiap persidangan. Peradilan hanya dilakukan tertutup jika menyangkut perkara kesusilaan atau menyangkut perkara yang dimintakan untuk tidak terbuka karena alasan tertentu.

Pasal 13 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain. 

Selanjutnya dikatakan bahwa putusan pengadilan hanya sah dan punya kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Dalam Pasal 64 KUHAP dikatakan bahwa "terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum". Prinsip ini adalah prinsip yang berlaku secara universal di banyak negara, dan memang begitulah seharusnya satu dan lain hal untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks Indonesia di mana sistem peradilan kita masih rentan dengan "intervensi" pihak luar—baik berupa tekanan penguasa maupun suap dari pihak yang berperkara, termasuk kuasa hukumnya—maka sidang yang terbuka untuk umum adalah sebagian dari kontrol tersebut walau diakui bahwa kontrol itu lebih sering tidak efektif. Coba lihat berapa banyak hakim, jaksa, dan advokat yang tertangkap tangan menerima atau memberi suap?

Pertanyaannya: sejauh mana sidang terbuka untuk umum itu dilaksanakan? Bagaimana penafsirannya? Apakah sidang terbuka untuk umum itu termasuk juga menyiarkan secara langsung melalui siaran televisi nasional sehingga semua orang tanpa kecuali bisa menontonnya?

Pertanyaan ini relevan dalam konteks peradilan Jessica Kumala Wongso yang disiarkan beberapa stasiun televisi. Saya berpendapat, liputan langsung semua acara persidangan oleh televisi berpotensi menggerogoti nilai-nilai keadilan yang hendak dicapai pengadilan. Hal ini disebabkan persidangan pengadilan telah berubah jadi "teater terbuka" yang bisa ditonton semua orang, termasuk saksi fakta dan ahli yang kemudian akan bersaksi.

Hakim, jaksa, advokat, saksi, ahli, dan terdakwa tiba-tiba menjelma menjadi aktor dan aktris yang harus memerankan peran mereka di panggung teater, menjaga penampilan, dan mendengar suara-suara penonton.

Bukan mustahil dalam situasi seperti ini obyektivitas dinegasikan karena kepedulian akan "citra" dan suara yang berkembang di masyarakat. Hal ini sangat mungkin terjadi apalagi pemberitaan media bisa juga bias dan bisa juga disetir pihak tertentu yang ingin membentuk opini publik. Alhasil, tak ada yang steril dari pengaruh dan—terutama hakim—situasi seperti ini berbahaya karena akan mengganggu independensi dan obyektivitasnya.

Ditafsirkan secara ekstrem

Dalam persidangan yang terbuka untuk umum, biasanya saksi dan ahli yang didengar tak diperkenankan mendengar kesaksian atau keterangan ahli pihak lain, kecuali kalau dia sudah memberikan kesaksian dan keterangan ahli.

Rasionalnya adalah agar dia obyektif dan tak terpengaruh kesaksian atau keterangan ahli lainnya. Hal ini penting. Namun, dengan liputan langsung di televisi, semua kesaksian dan keterangan ahli bisa didengar, dan seseorang yang maju sebagai saksi atau ahli berbekal pengetahuan kesaksian dan keterangan ahli yang sebelumnya disiarkan. Padahal, dia seharusnya tak boleh mendengarkan semua itu.

Di sinilah kompromi akan terjadi. Fakta tak diungkapkan apa adanya. Keahlian tak diterangkan sebagaimana mestinya. Semuanya menjaga citra, menjaga posisi, dan menempatkan dirinya dalam panggung teater nasional yang harus berlangsung untuk memuaskan dahaga penonton. Dalam situasi seperti ini, saya khawatir putusan pengadilan juga akan terkompromikan akibat siaran langsung oleh sejumlah televisi nasional kita. Penafsiran sidang terbuka untuk umum itu saya kira telah ditafsirkan secara ekstrem.

Di hampir semua negara di dunia sidang itu terbuka untuk umum, tetapi tidak dalam artian disiarkan secara langsung untuk setiap persidangan oleh televisi nasional. Di Amerika mengambil foto di ruang sidang pengadilan pun tak diperbolehkan sehingga yang muncul di media adalah sketsa yang dibuat seorang ahli pembuat sketsa. Satu-satunya sidang terbuka yang disiarkan televisi di Amerika pada waktu itu adalah persidangan OJ Simpson, pemain futbol yang terkenal itu, yang dituduh membunuh istrinya.

Dalam kasus OJ Simpson, kita tak menemukan siaran langsung untuk semua tahapan. Kita hanya melihat sebagian, potongan demi potongan. Siaran langsung itu pun dikritik sangat keras oleh sejumlah pihak. Di Indonesia, dulu pernah ada sidang pengadilan Soebandrio yang disiarkan RRI, tetapi itu terjadi pada situasi darurat: perpindahan rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru. Dalam situasi normal, seyogianya tak ada sidang yang disiarkan secara langsung oleh televisi nasional.

Saya setuju sidang yang terbuka untuk umum, tetapi norma- norma beracara di peradilan harus menjadi tuntunan semua pihak. Dan, yang paling penting adalah menjaga agar tujuan proses peradilan yang sejatinya menghasilkan putusan yang adil, keadilan material atau keadilan substantif bisa tercapai.

Siaran langsung proses persidangan, menurut hemat saya, cenderung menegasikan proses pencapaian keadilan material (substantif). Mahkamah Agung seharusnya memberikan pengawasan dan "arahan" buat pengadilan bawahan bagaimana sidang yang terbuka untuk umum itu harus dilaksanakan.

TODUNG MULYA LUBIS

Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Anggota International Bar Association

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Sidang Terbuka untuk Umum".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger