Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 14 Oktober 2016

TAJUK RENCANA: ”Perppu Kebiri” Belum Selesaikan Soal (Kompas)

Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atas "Perppu Kebiri" belum menjawab semua aspek perlindungan anak dari kekerasan seksual.

"Perppu Kebiri" atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikeluarkan Presiden Joko Widodo pada Mei lalu.

Perppu terbit atas usulan sejumlah pihak, setelah terjadi serangkaian kekerasan seksual terhadap anak dengan puncaknya kekerasan seksual disertai pembunuhan terhadap seorang remaja putri di Bengkulu. Perppu terbit melengkapi UU Perlindungan Anak.

Perppu memungkinkan pelaku kekerasan seksual terhadap anak mendapat hukuman lebih berat, yaitu hukuman mati. Perppu juga membuka ruang bagi hukuman tambahan berupa kebiri secara kimia melalui pengendalian hormon. Hukuman ini menimbulkan kontroversi.

Dari 10 fraksi di DPR, sembilan fraksi menyetujui perppu itu. Hanya Fraksi Gerindra yang menolak. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyetujui dengan catatan.

DPR menyetujui perppu itu meski banyak organisasi nonpemerintah menolak, terutama menyangkut hukuman kebiri dan hukuman mati. Salah satu alasan penolakan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 yang melarang segala bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan atau merendahkan martabat kemanusiaan. Di antara hukuman itu adalah hukuman mati dan hukuman kebiri.

Meskipun telah disepakati menjadi undang-undang, pelaksanaan hukuman kebiri kimia mendapat penolakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). PB IDI menyatakan, dokter tidak dapat menjadi pelaksana kebiri kimia karena menyalahi kode etik kedokteran.

Setelah pengesahan perppu, perhatian harus kita tujukan pada akar penyebab kekerasan seksual terhadap anak, yaitu relasi kuasa tidak setara antara anak dan pelaku yang disebabkan faktor sosial dan budaya.

Aspek tersebut belum mendapat perhatian di dalam perppu. Begitu pula pencegahan agar tidak terjadi kekerasan lagi. Perppu lebih menekankan pada aspek penghukuman dengan berat kepada pelaku. Harapannya, akan terjadi efek jera.

Yang masih luput dari perhatian adalah pemulihan korban kekerasan, secara psikologis, sosial, dan ekonomi. Dari berbagai kejadian kekerasan seksual pada anak selama ini, banyak korban kesulitan mendapat akses atas keadilan dan layanan pemulihan yang baik. Tanpa penanganan menyeluruh, akan ada lagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul ""Perppu Kebiri" Belum Selesaikan Soal"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger