Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 07 Oktober 2016

TAJUK RENCANA: Pemekaran Bukan Harga Mati (Kompas)

Arahan terakhir Presiden Joko Widodo, pemekaran daerah otonom baru masih moratorium atau dihentikan. Namun, hal itu bukan harga mati.

Keterangan Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo itu (Kompas, 6/10) seolah menenangkan gejolak Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mendorong pembentukan 172 daerah otonom baru. Langkah DPD didukung sejumlah kepala daerah, yang bersama bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Selasa lalu, dalam Konsolidasi Nasional Pembentukan Daerah Otonom Baru di Jakarta.

Mendagri belum menyetujui pemekaran dibuka kembali. Pemerintah masih menyelesaikan dua rancangan peraturan pemerintah (RPP), yakni terkait desain besar penataan daerah dan penataan daerah, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. DPD dan pemerintah daerah terus mendesak.

Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti mengingatkan, pembentukan daerah otonom baru adalah hak konstitusional daerah. UUD 1945 tak menyebut hak daerah untuk memekarkan diri. Pasal 18B, hasil perubahan, hanya mengatur negara mengakui dan menghormati satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa, serta kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisional, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan ini acap kali dipakai elite di daerah untuk mengajukan pembentukan daerah otonomi baru karena merasa berbeda, khusus, istimewa, atau memiliki tradisi yang berbeda dengan daerah induk. Pembentukan daerah otonomi baru tak jarang juga menjadi cara untuk mencarikan posisi politik pada elite partai atau elite daerah. Ini tentu saja tidak sejalan dengan semangat pemekaran, yang semestinya untuk memperpendek rentang pelayanan pada masyarakat dan kian menyejahterakan rakyat.

Wakil Presiden M Jusuf Kalla saat pembukaan Institut Otonomi Daerah, April lalu di Jakarta, menyatakan, pemekaran sementara dihentikan karena pertumbuhan ekonomi nasional masih kurang dari 7 persen. Biaya untuk daerah dalam APBN amatlah besar. Tahun 2016, transfer dana ke daerah itu mencapai Rp 770 triliun. Tahun ini nilai APBN mencapai Rp 2.000 triliun.

Sejak tahun 1998, tercatat 223 daerah otonomi baru lahir. Pemekaran bukan berarti harus benar-benar dihentikan sepanjang benar-benar untuk kepentingan rakyat, serta daerah itu siap dengan potensi dan sumber daya untuk dimekarkan. Jangan kepentingan elite semata yang mendorong sebuah daerah dimekarkan. Apalagi, dari hasil evaluasi Kemendagri, misalnya, dari 18 daerah otonomi baru periode 2012-2014, tak satu pun yang bernilai baik.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Pemekaran Bukan Harga Mati".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger