Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 19 Januari 2017

TAJUK RENCANA: Diplomasi Twitter (Kompas)

Apa lagi yang akan presiden terpilih AS, Donald Trump, nyatakan di status Twitternya? Siapa lagi yang akan "diserang"? Adakah yang bisa menghentikan?

Masih belum puas dengan segala kontroversi yang ia buat selama masa kampanye dan setelah terpilih menjadi presiden, Donald Trump terus mencari "musuh" baru lewat cuitan Twitter-nya. Jika hingga pekan lalu ia terus memojokkan Tiongkok dengan mempermasalahkan kebijakan "One China", hari-hari ini ia mulai "menggoyang" Eropa.

Melalui wawancara dengan dua media Eropa, Trump membuat berang pimpinan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan para pemimpin negara-negara di Eropa. Trump mengecam NATO yang disebutnya perkumpulan usang; mengecam Uni Eropa dengan menyatakan, akan banyak negara yang keluar dari blok itu; mengecam secara langsung kebijakan migran Kanselir Jerman Angela Merkel sebagai "malapetaka"; dan memuji-muji keputusan Inggris keluar dari UE.

Apa yang ingin dicapai dengan cuitan itu, tidak jelas. Yang pasti, para pembantunya jungkir balik untuk meluruskan situasi. Lebih-lebih apa yang dinyatakan Trump bertolak belakang dengan pernyataan para calon menterinya, khususnya menyangkut kebijakan luar negeri dan pertahanan.

Jika kita perhatikan, mungkin negara yang luput dari kritiknya adalah Rusia. Bahkan, setelah semua badan intelijen AS mengungkap apa yang telah dilakukan intelijen Rusia terhadap sistem demokrasi AS sekalipun, Trump justru menyalahkan intelijen AS.

Dunia luar masih mengira-ngira apakah ini sekadar sinyal bahwa kebijakan luar negeri AS akan berubah haluan atau jangan-jangan Trump memang "takut" terhadap Rusia untuk alasan yang belum diketahui. Yang kita ketahui hanyalah adanya laporan intelijen yang diungkap badan intelijen AS, tetapi belum terverifikasi, tentang peretasan terhadap informasi pribadi Trump oleh Rusia.

Hampir semua kontroversi yang sudah menimbulkan gesekan diplomatik itu muncul dari cuitan Twitter Trump. Sampai-sampai sejumlah pemimpin di Eropa membuat sinyalemen, jangan-jangan Trump enggan pindah ke dunia realitas. Bisa jadi karena dunia nyata ternyata jauh lebih sulit dan ruwet daripada dunia maya. Oleh karena itu, mereka menyerukan agar Trump menghentikan "diplomasi Twitter" dan hadir di dunia nyata.

Dengan sikap bijaksana, Merkel menanggapi serangan Trump untuk menunggu sampai miliarder itu dilantik. Karena setelah resmi menjadi presiden, semua ucapan Trump akan menjadi representasi sikap Amerika Serikat. Di situlah Eropa akan menanggapi serius. Dan, sinyal yang sudah dikirimkan Brussels adalah Eropa tak butuh nasihat dari luar untuk mengurus dirinya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Diplomasi Twitter".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger