Industri yang seharusnya memiliki daya saing ekspor kalah dari negara tetangga yang keunggulan komparatif dan kompetitifnya tidak sebaik Indonesia.
Keunggulan kita adalah pada bahan baku kayu. Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman kayu yang tinggi, termasuk rotan yang merupakan bahan baku andalan karena hanya terdapat di hutan tropis.
Indonesia juga memiliki sumber daya manusia berlimpah dan pembuatan mebel bukan hal baru. Pejuang emansipasi perempuan, RA Kartini, misalnya, menulis pada awal abad ke-20 di dalam suratnya soal pentingnya industri ukiran kayu dan mebel dalam ekonomi Jepara.
Penelusuran lapangan harian Kompas,pekan ini, menemukan lemahnya daya saing industri mebel Indonesia disebabkan peraturan yang tidak mendukung. Apabila pada 2015 nilai ekspor mebel kita menurut Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) adalah 1,93 miliar dollar Amerika Serikat (AS), pada 2016 menjadi 1,6 miliar dollar AS dan tahun ini diperkirakan 1,3 miliar dollar AS. Sementara nilai ekspor Vietnam tahun 2015 sebesar 6,9 miliar dollar AS dan Malaysia 2,4 miliar dollar AS.
Beberapa contoh, untuk mengekspor, pengusaha harus memiliki dokumen sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) sebagai bukti kayu didapat secara legal. Yang meminta dokumen itu Eropa Barat, tetapi peraturan Kementerian Perdagangan berlaku umum untuk ke semua negara.
Beban biaya Rp 80 juta untuk SVLK bagi industri kelas menengah dan kecil seharusnya bisa dihilangkan, jika yang mengeluarkan dokumen tersebut industri penghasil kayu, mulai dari pemegang hak pengusahaan hutan, badan usaha milik negara, hingga petani kayu serta pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hambatan lain yang bisa dihilangkan adalah pemeriksaan karantina untuk contoh kayu yang dikirim pembeli mebel dari luar negeri. Kementerian Pertanian seharusnya bisa meminta sertifikat fitosanitasi kayu dari negara asal sehingga waktu menunggu kayu keluar pelabuhan dan biaya dapat ditekan.
Dengan segala maksud baik pemerintah, tidak jarang peraturan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia bisnis, apalagi jika industri yang ditangani lintas sektoral karena pembuat aturan boleh jadi tidak cukup memahami bekerjanya bisnis industri bersangkutan.
Kita sering kali lebih banyak melihat ke dalam. Di tengah persaingan ketat perdagangan dunia, ada baiknya kita belajar dari capaian negara lain sebagai pembanding dalam menyusun aturan agar daya saing kita meningkat.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Meningkatkan Daya Saing".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar