Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 30 Maret 2017

TAJUK RENCANA: Sejarah Baru Inggris dan UE (Kompas)

Setelah 44 tahun bergabung dengan Uni Eropa, Inggris, kemarin, secara resmi memulai perceraian dengan mengaktifkan Pasal 50 Traktat Lisabon.

Inggris memiliki waktu kurang dari dua tahun untuk menuntaskan negosiasi dengan Uni Eropa (UE). Sejumlah masalah krusial menjadi prioritas kedua belah pihak, yaitu nasib sekitar 3 juta warga UE di Inggris dan sekitar 1 juta warga Inggris di UE, soal akses Inggris ke pasar tunggal Eropa pasca British Exit (Brexit), serta biaya perceraian sekitar 60 miliar euro yang harus dibayar Inggris.

Sebagai mantan anggota "utama" di blok itu, mengingat Inggris adalah negara berkekuatan nuklir dan salah satu pilar ekonomi Eropa, perpisahan ini menjadi sangat berat bagi kedua pihak. London sudah mewanti-wanti, jika Brussels berupaya "menghukum" Inggris dengan mempersulit proses negosiasi, Inggris akan keluar dari UE tanpa harus membuat kesepakatan. Brussels menjawab, jika Inggris bercerai tanpa kesepakatan, kedua belah pihak pasti bakal terkena dampaknya, tetapi Inggris akan menderita kerugian lebih besar.

Persoalannya, jika UE bersikap "lunak" terhadap Inggris, hal ini akan mendorong semangat anti-UE di banyak negara yang saat ini sedang dikobarkan oleh partai-partai populis. Apalagi Eropa kini sedang menghadapi serangkaian pemilu yang krusial, khususnya di Perancis dan Jerman, di mana dukungan terhadap kubu ekstrem kanan makin kuat. Salah satu agenda partai ekstrem kanan di seluruh Eropa adalah keluar dari Uni Eropa.

Sebaliknya, posisi Inggris juga sedang rentan menghadapi disintegrasi internal. Skotlandia secara resmi telah memulai proses untuk melaksanakan referendum kedua kemerdekaan. Mereka merencanakan pelaksanaan referendum berlangsung akhir 2018 atau sebelum musim semi 2019, yang pasti sebelum Inggris "sah" bercerai.

Secara legal, usulan Skotlandia ini bisa saja diabaikan oleh Perdana Menteri (PM) Theresa May, tetapi sikap ini akan semakin menguatkan semangat nasionalis warga Skotlandia. Pilihan yang mungkin adalah referendum diizinkan, tetapi setelah negosiasi Brexit selesai.

Persoalan internal lainnya datang dari Irlandia Utara. Partai yang memiliki suara mayoritas, Sinn Fein, juga berencana melaksanakan referendum untuk lepas dari Inggris dan bergabung dengan Republik Irlandia. Apa pun langkah yang akan diambil Pemerintah Inggris, tak ada satu pihak pun yang menginginkan terulangnya konflik berdarah Inggris-Irlandia Utara (1968-1998), yang telah merenggut korban jiwa sekitar 3.500 orang.

Melihat peliknya masalah yang dihadapi UE ataupun Inggris, sulit membayangkan negosiasi akan berjalan mudah dan mulus. Kita berharap kedua pihak memulai negosiasi dengan mengedepankan niat baik dan kepentingan bersama.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Sejarah Baru Inggris dan UE".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger