Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 April 2017

Ujian Kejujuran UN 2016/2017 (Kompas)

Penyelenggaraan Ujian Nasional 2016/2017 bagi SMP dan SMA/ SMK, setelah bertahun-tahun memicu wacana pro dan kontra, mempertaruhkan tiga ujian.

Pertama, kita apresiasi keputusan Mendikbud Muhadjir Effendy menyangkut masalah kejujuran. Seberapa jauh sekolah, guru, siswa, dan orangtua peserta didik berani mengakui keberhasilan proses belajar secara obyektif? Tujuan ujian nasional (UN )adalah mengetes kemampuan riil atas apa yang telah dipelajari (achievement test).

Kedua, menguji perbaikan, di antaranya dengan sistem ujian nasional berbasis komputer (UNBK) yang tahun ini diberitakan mencakup 85 persen sekolah, dicegah potensi kecurangan dan dipercepat proses penilaiannya.

Dua ujian kejujuran itu diikuti beberapa sub-kejujuran. Seberapa jauh hasil UN dimanfaatkan sebagai bagian pemetaan mutu pendidikan? Seberapa jauh terbukti bahwa meski secara geografis Indonesia sangat beragam, dalam hal achievement test perlu standar minimal? Seberapa berimpitan antara hasil achievement testdan aptitude test untuk memasuki pendidikan lebih tinggi?

Dari beberapa kejujuran di atas, paling berat adalah ujian kejujuran terhadap diri sendiri karena aura lingkungan masyarakat adalah aura kebohongan. Ketika sekolah mengajarkan kejujuran, peserta didik menyaksikan kejujuran dilecehkan.

Lingkungan sehari-hari penuh kebohongan dan tujuan menghalalkan cara. Argumentasi kebohongan mereka yang anti-UN pun dibenarkan. Sing jujur malah kojur. Kejujuran merupakan antitesis. Dalam kasus UN 2016/2017yang dicoba dengan pengawasan lebih ketat dan sistem UNBK, upaya ituniscaya sudah disiasati pemuja kepalsuan. Integritas menjadi nisbi.

Yang tidak kalah penting adalah proses pasca-UN. Kejujuran tetap menjadi tantangan dan jati diri praksis pendidikan, apalagi dalam proses penilaian dan pengumuman hasil ujian. Ancaman pecat dari Menteri Muhadjir bagi guru yang kedapatan tidak jujur perlu diapresiasi. Tidak hanya bagi guru, tetapi juga kepala sekolah atau sekolah yang kedapatan memaksakan kehendaknya.

Hasil UN 2016/2017 yang jauh dari kepalsuan dan kebohongan menjadi muatan pemetaan mutu praksis pendidikan. Niscaya bisa dipertemukan hasil UN sebagai achievement testsekolah dan aptitude test untuk masuk ke jenjang lebih tinggi (perguruan tinggi).Aptitude test tetap perlu karena keberhasilan pendidikan lebih rendah menjamin keberhasilan pendidikan yang lebih tinggi.

Ke depan, UN secara bertahap perlu dihapus di jenjang pendidikan berikutnya. Tantangan memang berat menyelenggarakan praksis pendidikan dengan roh kejujuran.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Ujian Kejujuran UN 2016/2017".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger