Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 29 Mei 2017

Menggugat UU Ketenagakerjaan (P AGUNG PAMBUDHI)

Tidak bisa diingkari, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah "batu penjuru" penataan hubungan industrial. Pertanyaannya, apakah sebagai sentral regulasi ketenagakerjaan UU tersebut telah berhasil mencapai tujuannya?

Menurut saya, UU itu telah gagal menjalankan mandatnya untuk peningkatan kualitas hubungan bipartit: pekerja-pengusaha, ataupun tripartit bersama dengan pemerintah.

Mengapa? UU tersebut telah menciptakan loose loose situation. Bagi pekerja, tidak terjamin kelangsungan pekerjaannya (job security) dan hak-hak normatifnya; bagi pengusaha, tidak bisa kompetitif dalam meningkatkan aktivitas bisnisnya; dan bagi pencari kerja, kesulitan mendapatkan kesempatan kerja.

Ketatnya aturan ketenagakerjaan sejalan dengan non-compliance yang tinggi atas sejumlah ketentuan normatif, di antaranya: hanya 21,7 persen (2016) perusahaan yang memiliki perjanjian kerja bersama (PKB), bahkan menurun dari 24,8 persen pada 2010 (Kemenakertrans, 2016); 73 persen pekerja tidak menerima pesangon (Sakernas, 2013); dan 39,1 persen yang tidak patuh atas pembayaran besaran upah minimum provinsi alias UMP (ILO, 2016).

Bank Dunia (2014) melaporkan bahwa besaran biaya pesangon bagi pekerja dengan masa kerja 1,5-10 tahun di Indonesia yang setara 57,8 kali upah mingguan, jauh di atas Thailand (26,7), Filipina (23,1) dan Malaysia (17,2). Lebih lanjut, upah minimum di kota-kota besar Indonesia lebih tinggi dibandingkan Filipina dan Malaysia. Atas beban biaya ketenagakerjaan yang tinggi, amat sedikit perusahaan di Indonesia (4,7 persen) yang dapat menyisihkan keuntungannya untuk pengembangan keterampilan pekerja, sangat jauh di bawah Thailand (75,3 persen), bahkan Vietnam (41,5 persen) sehingga menghambat peningkatan produktivitas yang menggerus daya saing.

Sementara lulusan dunia pendidikan semakin lama waktu tunggunya untuk mendapatkan pekerjaan, terutama lulusan sekolah menengah. Kaum muda yang tidak mendapatkan pekerjaan di Indonesia sebesar 21,5 persen, jauh di atas Malaysia (10,2 persen), Vietnam (4,4 persen), dan Thailand yang hanya 2,3 persen.

Itulah gambaran ringkas loose loose situation ketika pekerja, pengusaha, dan pencari kerja sama-sama menderita, yang bersumber pada substansi dan implementasi UU No 13/2003.

Lemahnya UU No 13/2003 juga tecermin dari 12 putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi (judicial review) UU tersebut, yang telah memberikan pemaknaan tambal sulam atas pasal-pasalnya sehingga UU No 13/2013 sudah compang-camping sebagai satu kesatuan kebijakan. Uniknya, yang mengajukan uji materi berasal dari unsur pekerja ataupun pengusaha sehingga sering dikatakan UU tersebut tidak diinginkan oleh kedua konstituen utamanya. Namun, ironisnya, berbagai upaya untuk revisi UU tersebut selalu kandas.

Hari Buruh

Memaknai Hari Buruh, 1 Mei, bisa dilakukan dengan telaah kritis atas sajian fakta-fakta di atas. Apakah tepat dialamatkan ke persoalan ketenagakerjaan? Bukankah banyak faktor penyebab kinerja suram itu, seperti minimnya ketersediaan dan kualitas infrastruktur, rumitnya perizinan usaha, ketidakpastian hukum.

Namun, benar bahwa faktor-faktor ketenagakerjaan di atas memberikan kontribusi atas kinerja rendah ketenagakerjaan. Studi JBIC menunjukkan bahwa pilihan investasi Jepang di Indonesia menurun dari semula nomor 2 pada 2015 menjadi nomor 3 pada 2016 karena faktor rigiditas kebijakan ketenagakerjaan dan demonstrasi buruh yang tidak berlangsung damai. Sementara di sisi lain, studi Bank Dunia menunjukkan, tingginya biaya pemutusan hubungan kerja di Indonesia, upah minimum yangmendekati upah rata-rata sehingga tak fair bagi pekerja yang sudah lama bekerja, dan melejitnya kenaikan upah minimum yang tidak sejalan dengan kenaikan produktivitas (Aswicahyono, CSIS) ikut mewarnai dunia ketenagakerjaan di negeri ini.

Refleksi Hari Buruh juga bisa dengan menimbang respons kebijakan pemerintah untuk memperbaiki permasalahan hubungan industrial. Di antaranya, diterbitkannya PP No 78/2015 tentang Pengupahan yang mematok kenaikan upah minimum berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun berat karena tidak sejalan dengan produktivitas, dunia usaha dapat menerima mengingat jaminan kepastian dalam kalkulasi usaha.

Bagi sebagian pekerja, kebijakan tersebut dinilai melanggar hak berunding sehingga beberapa serikat pekerja terus menggugatnya. Mereka lupa bahwa upah minimum adalah jaring pengaman yang mestinya ditentukan berdasar kekuatan perekonomian, bukan negosiasi. Lebih dari itu, collective bargaining untuk upah di atas upah minimum diakui oleh PP tersebut sebagai hak pekerja untuk merundingkannya dengan pengusaha di perusahaan masing-masing.

Untuk perlindungan pekerja, dalam tiga tahun terakhir pemerintah mengimplementasikan perlindungan universal kesehatan dan ketenagakerjaan bagi pekerja melalui BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, yang masih terdapat segudang permasalahan, baik dalam kebijakan maupun implementasinya untuk terus diperbaiki.

Dalam satu tahun terakhir, bidang ketenagakerjaan disibukkan oleh diskursus dan kegiatan pengembangan keterampilan pekerja. Meskipun bukan hal baru, penguatan gerakan pemagangan nasional dan pendidikan vokasi patut didukung. Hal ini mengingatmiss-match hasil pendidikan dengan kebutuhan industri yang mendorong dunia usaha mendukung upaya ini meski sekaligus khawatir karena adanya saling berebut peran antarkementerian lembaga.

Agenda lanjut

Lebih jauh dari berbagai upaya pemerintah tersebut, para pimpinan negeri mesti berketetapan hati untuk melakukan perubahan mendasar rujukan utama peraturan ketenagakerjaan dengan tidak saja merevisi, tetapi mengganti UU No 13/2003. UU Ketenagakerjaan yang baru, selain merespons tantangan-tantangan di atas, juga antisipatif terhadap the future of works yang ditandai dengan industri 4.0 dengan kemajuan pesat industri jasa secara luas, termasuk teknologi informasi, otomatisasi, big-data, dan sebagainya yang telah menciptakan jenis pekerjaan nonstandar yang menggugat sakralnya aturan-aturan dalam konvensi-konvensi dasar ILO.

UU Ketenagakerjaan yang baru harus mampu mengembangkan empat pilar utama, yakni saling percaya antaraktor, dialog sosial, kesetaraan dan keadilan, serta produktivitas dan kesejahteraan (Apindo, 2016). Pemenuhan atas empat pilar itu, dalam elaborasi batang tubuh UU berdasarkan studi Apindo diyakini akan menciptakan kualitas hubungan industrial dan perekonomian yang lebih baik.

Untuk memimpin perubahan UU tersebut, tidak cukup seorang Menteri Ketenagakerjaan, tetapi mensyaratkan Presiden sebagai pimpinan tertinggi untuk memimpinnya. Hal ini mengingat persoalannya yang lintas sektor dan memiliki implikasi politik yang tinggi. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, kinerja ketenagakerjaan menjadi tolok ukur paling utama yang ditunggu masyarakat untuk menentukan pilihan pimpinan nasional ataupun daerah.

AGUNG PAMBUDHI, DIREKTUR EKSEKUTIF APINDO

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Menggugat UU Ketenagakerjaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger