Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 Juni 2017

Membayar Utang Konstitusi (R YANDO ZAKARIA)

Bambang Kesowo dalam artikel "Kebijakan Baru Pertanahan" di Kompas 30 Maret 2017 lalu antara lain menulis, ". di tengah cita dan upaya mewujudkan sebuah negara modern, berlangsung pula tarikan mundur karena kita sendiri sekarang ini memunculkan kembali masyarakat (hukum) adat sebagai entitas baru."

Mengingat latar belakang Kesowo, pernyataan menanggapi soal RUU Pertanahan itu seperti mengungkap rahasia masa lalu mengapa pengakuan hak masyarakat hukum adat yang dijanjikan konstitusi tak kunjung direalisasikan pemerintah. Padahal, kita tahu, UUD 1945 telah mengakui hak-hak masyarakat (hukum) adat sebagaimana yang tercantum pada (Penjelasan) Pasal 18 (sebelum amendemen) dan dipertegas Pasal 18B Ayat 2 (setelah amendemen tahun 2000).

Kita tahu pula, kecuali yang tercantum pada UU Pokok Agraria 1960, yang terjadi pada masa berikutnya adalah justru pengingkaran dan/atau pelanggaran terhadapnya. Semakin masif pada masa Orde Baru! Bahkan, sebuah peraturan pemerintah tentang hak pengusahaan hutan pun pernah membatalkan pengakuan hak masyarakat adat.

Reformasi membawa angin baru. Setidaknya ada 5 putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pengakuan atas hak masyarakat hukum adat, termasuk atas tanah adat/tanah ulayat. Putusan MK itu telah merumuskan kriteria dan kondisionalitas serta proses pengakuan yang lebih pasti dari masa sebelumnya.

Saat ini setidaknya ada 5 perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat secara hukum, yakni (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Permendagri No 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; dan (3) Peraturan Bersama Mendagri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan No 79 /2014 (dalam tiga nomor) tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan.

Kemudian (4) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No 9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; dan (5) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 32/2015 tentang Hutan Hak.

Persoalannya, tiap kebijakan menempuh pengakuan berbeda satu sama lainnya.  UU Desa menempuh cara berbeda dengan peraturan perundang-undangan lain, termasuk jika dibandingkan UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Jika peraturan perundang-undangan yang lain memberlakukan pemenuhan kriteria secara akumulatif (harus terpenuhi seluruhnya), UU Desa menerapkan pemenuhan kriteria fakultatif (cukup sebagian saja)

Di atas kertas pemenuhan ketentuan versi UU Desa jauh lebih mudah ketimbang pendekatan akumulatif yang memang agak tak mungkin dipenuhi. Dengan memakai peraturan daerah sebagai instrumen hukum, diharapkan penetapan suatu masyarakat adat sebagai suatu desa adat sebagaimana diatur UU Desa 2014 syarat yang ditentukan pada Pasal 67 UU 41/1999 itu sekaligus dapat dipenuhi.

Hak adat atas tanah

Tunduk pada perintah konstitusi, RUU Pertanahan juga memuat bab pengakuan atas hak ulayat/tanah adat. Logika pengakuan yang digunakan mengikuti Putusan MK 35/2012, yakni tanah adat bukan tanah negara; tanah adat berada di wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat; hak masyarakat hukum adat diakui jika keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan dalam peraturan daerah.

 Tepatkah pengaturan demikian itu? Mari kita coba kaitkan dengan kasus hutan adat yang dapat saja berupa dan/atau berada pada tanah ulayat orang Minangkabau di Sumatera Barat. Di "Ranah Minang" susunan masyarakat hukum adat sangatlah beragam. Ada yang disebut kaum/buah gadang(keluarga luas berdasarkan nenek/perempuan tertentu); suku(keluarga luas berdasarkan garis keturunan nenek moyang), dan juga nagari(kesatuan permukiman/desa teritorial yang genealogis).

Tiap susunan memiliki tanah ulayat yang disebut sako/pusako tersendiri yang diurus pemuka/pemimpin adat (panghulu andiko) yang berbeda pula satu sama lain. Tiap susunan punya kewenangan yang penuh atassako/pusako, dan tak dapat mencampuri urusan kaum, suku, atau nagari yang lain.

 Pertanyaannya, apakah dibutuhkan peraturan daerah untuk setiap kaum/buah gadang, suku, ataupun nagari agar tiap pusako (baca: harta kekayaan bersama berupa tanah ulayat) dapat diakui oleh negara sebagaimana dimaksudkan putusan MK 35/2012?  Jika jawabannya "ya", maka bisa dibayangkan betapa sibuk masyarakat hukum adat dan pemerintah di negeri ini untuk memenuhi amanat konstitusi!

Karena itu, tanpa mengurangi nilai-nilai positifnya, implementasi putusan MK 35/2012 perlu dilengkapi dan/ atau didekati dengan perspektif sosio-antropologis. Ini diperlukan agar jangan sampai putusan dimaksud justru menjadi sumber malapetaka yang baru bagi perjuangan pengakuan hak-hak masyarakat adat di negeri ini. Terlebih lagi, pada dasarnya, putusan MK 35/2012 itu sebenarnya juga mengukuhkan keberadaan Pasal 67 yang memberatkan masyarakat adat.

Langkah ke depan

Sudah saatnya lebih memahami realitas sosio-antropologis dari apa yang disebut sebagai masyarakat (hukum) adat itu secara lebih empiris ketimbang berdebat soal konsep yang generik itu. Apalagi jika sekadar berdebat soal pengakuan hak masyarakat adat ini merupakan langkah maju atau mundur. Toh, beberapa negara maju, seperti AS, Kanada, Australia, Selandia Baru, telah "mengakui dosa masa lalunya" dengan memberi pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai tuan rumah aslinya.

Ajakan ini dimaksudkan agar kita terbebas dari berbagai ketentuan -dan juga pengetahuan sosio-antropologis-yang dirumuskan pada masa lalu yang konteksnya berbeda, baik sosial, ekonomi, budaya, serta politik, dan hukum pada masa kini.

Langkah penting pertama adalah menerima realitas bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat itu ada yang bersifat perdata/privat dan ada yang bersifat publik.  Merujuk kembali pada kasus tanah ulayat di Ranah Minang di atas, pusako kaum dan suku jelaslah bersifat privat. Ulayat nagari bersifat publik.

Karena itu, pengakuan pada hak privat itu mesti diperlakukan sama seperti pemberian hak privat lain, seperti layaknya sertifikat tanah individual biasa, sebab tak seorang atau sekelompok orang pun bisa berbohong bahwa dia/mereka berasal dari kaum/suku tertentu, bukan dari kaum/suku lain. Petugas lapangan kantor Badan Pertanahan Nasional setempat dengan mudah menguji pengakuan ini dengan menanyai pihak lingkungan kaum/suku yang bersangkutan.

Untuk hak publik nagari, sudah tersedia nomenklatur desa adat versi UU No 6/2014 tentang Desa. Mari gunakan momentum penyusunan UU Pertanahan ini, sebagaimana UU Desa, sebagai momentum membayar utang konstitusi.

 R YANDO ZAKARIA

Antropolog; Peneliti pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Membayar Utang Konstitusi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger