Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 Juni 2017

Terperangkap dalam Kapsul Waktu (ELISABETH RUKMINI)

Masa depan telah mengeliminasi jenis pekerjaan yang sarat dengan factual knowledge. Ponsel pintar dengan peranti lunaknya, kini sudah sanggup menggantikan fungsi factual knowledge.

Laporan Kompas (3 Mei 2017) tentang profesi yang masih dibutuhkan pada masa mendatang, mensyaratkan pentingnya kemampuan analisis, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Peran mesin pencari sangat maksimal, tetapi tak mungkin (setidaknya saat ini) menggantikan peran daya pikir manusia yang beragam.

Sementara itu, perkembangan sosial belakangan yang semakin nyata memperlihatkan benturan antara radikalisme versus logika kritis obyektif, mulai mengharuskan kita untuk sadar akan kebutuhan daya pikir beragam manusia. Dibutuhkan kemampuan komunikasi, kerja sama, negosiasi, disertai dengan analisis kritis. Lagi, hal ini tak bisa dicapai dengan kemampuan penguasaan factual knowledge belaka.

Respons pendidikan tinggi

Pertanyaannya: apakah dunia pendidikan tinggi berubah ketika merespons kedua fakta di atas? Kuliah satu arah masih menjadi andalan hampir semua mata kuliah di semua perguruan tinggi. Dalam hal ini Rhenald Khasali mengingatkan, "Kita tidak bisa menawarkan solusi kemarin untuk mengatasi persoalan hari ini." (Rhenald Kasali, Re-code Your Change DNA, 2007).

Carl Weiman, peraih Nobel Fisika 2001, menyebutkan, terlalu banyak perguruan tinggi yang masih saja mengandalkan kelas kuliah besar tanpa berpikir apakah cara itu bermakna bagi mahasiswanya. Dalam wawancara dengan National Public Radio (NPR) awal Juni, Weiman menyebutkan bahkan kelas kuliah sudah ada ketika buku belum ada, saat mesin pencetak belum ditemukan.  Kuliah bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan saat audiens belum memiliki buku secara meluas. Apakah cara yang sama kini masih relevan?

Ada dua keberatan terbesar dalam perkuliahan: yang pertama pembelajaran satu arah tak sejalan dengan proses belajar (mencerna informasi) bagi sel-sel saraf di otak. Yang kedua, bagaimanapun audiens berkembang, generasi Z yang telah memasuki perguruan tinggi sejak 1-2 tahun lalu bukanlah generasi yang  pasif, cenderung multitugas, jangka konsentrasi pendek, variatif, dan dinamis.

Sejak Piaget mengemukakan teori perkembangan kognitif (1936) hingga lanjutan berjuta riset terkait, sebenarnya kita paham bagaimana otak memproses informasi. Peta model pemrosesan informasi telah banyak dikemukakan oleh para ahli.

Singkatnya, informasi masuk melalui indera manusia ke dalam working memory. Tidak semua informasi akan masuk ke dalam working memory karena keterbatasan indera kita dan keterbatasan informasi yang tidak mencakup semua indera manusia. Bayangkan, dalam satu kelas kuliah satu arah rerata jam mengajar dosen 100-120 menit. Indera utama yang digunakan oleh audiens adalah auditori.

Penelitian pendidikan membuktikan, konsentrasi otak manusia yang bekerja bersama auditori saja hanya berkisar antara 12-15 menit dewasa ini. Jika dosen memberikan waktu selingan atau istirahat antara jam kuliah, akan ada sekitar 2 x 15 menit konsentrasi kerja auditori yang kalau dihitung itu hanyalah kurang dari 30 persen waktu kuliah.

Jika kita lanjutkan proses informasi dalam otak setelah memberi makna dan rasa, informasi yang sarat makna akan berlanjut ke long term memory. Sayangnya, tidak semua informasi dariworking memory akan berlanjut ke long term memory. Selalu ada informasi yang gugur di tengah jalan sebab tidak bermakna dan tidak melibatkan rasa. Bagian otak yang banyak bekerja saat itu adalah amygdala, mengolah rasa. Makna dan rasa perlu bertemu dahulu hingga informasi sarat makna dapat tersimpan dalam long term memory untuk suatu saat digunakan. Bilakah kuliah satu arah menemukan rasa? Mungkin amat personal, tetapi sangat mungkin sejak dini ketika informasi masuk sebanyak mungkin indera diperlukan untuk memaksimalkan informasi yang masuk.

Proses dialog

Aktivitas belajar adalah proses dialog antar-sel-sel neuron dalam otak untuk menimbulkan listrik, saling bertumbukan dan putus, bertumbukan lagi menemukan makna. Ini terjadi bila proses mencerna informasi juga diiringi tantangan dialog antarmanusia. Jika sejak awal informasi masuk melibatkan sebanyak mungkin indera, pemaknaan itu muncul dari berbagai sisi.

Kuliah satu arah mungkin saja diperdebatkan sebagai melibatkan lebih dari indera pendengaran, tetapi jelas tidak melibatkan indera peraba, tak ada mekanisme gerak tubuh atau kinestetik yang bermakna. Tidak ada mekanisme dialog aktif antarmanusia dalam kuliah satu arah.

Ciri pembeda antargenerasi tidak diperhatikan oleh para pengajar satu arah. Generasi Z yang lahir tahun 1995 ke atas sudah memasuki perguruan tinggi. Para dosen mereka mayoritas generasi X dan sebelumnya. Bagaimana pun perbedaan generasi menuntut perbedaan cara dan medium pembelajaran.

Generasi X adalah pengubah, pemikir yang mendorong perubahan ke arah teknologi. Namun, generasi Z adalah pelaku teknologi itu. Sebagai pelaku, telah didahului oleh kebiasaan menggunakan teknologi sejak mereka kanak-kanak, tentu pengaruhnya ketika dewasa adalah kecanggihan menggunakan sekaligus menemukan cara termudah dan instan untuk segala sesuatu, termasuk untuk belajar.

Teknologi sharing sudah innate dalam sikap mereka. Secepat kilat informasi baru dibagikan antarteman, sementara para dosennya masih mencerna informasi itu dalam-dalam. Jika dosen berdiri di depan kelas melakukan kuliah satu arah, segera satu atau dua orang mahasiswa mencari topik tersebut di dunia maya, melakukan sharing dan akhirnya berhenti menikmati kuliah satu arah dosennya.

Ciri antargenerasi semestinya tidak dijadikan perdebatan untuk mendorong generasi satu ke kutub lainnya. Justru ciri baik generasi Z perlu dimaknai sebagai pintu masuk generasi X dalam dunia belajar mengajar di perguruan tinggi. Jelaslah memanfaatkan daya aktif dan sifat sharing generasi Z ini dalam kelas-kelas interaktif dan penuh tantangan adalah pemicu generasi muda untuk maju.

Proses berpikir ditantang dan sekaligus difasilitasi. Fasilitas berarti umpan balik. Kelas kuliah menjadi ajang untuk berdiskusi, setara, tak ada satu sumber, yang ada hanyalah sumber-sumber itu menjadi sarat makna. Aktivitas perlu melibatkan dialog (dan dengan demikian neuron otak bersambung-putus) antarmanusia.

Apakah dunia perguruan tinggi benar-benar slow to change seperti yang dikatakan oleh Weiman?  Generasi lama terperangkap dalam jebakan masa lalu, terperangkap dalam kapsul waktu saat buku belum dapat dicetak dan dinikmati masyarakat awam. Bila tak juga perguruan tinggi berniat berubah, hal ini berarti generasi lama masih terjebak dalam kejayaan masa lampau, sementara itu yang baru sudah punya keunggulan dan tuntutan atas keunggulan yang lain.

Generasi X dan generasi sebelumnya, para senior di perguruan tinggi merasa jemawa dengan perjuangannya. Sementara generasi Z telah melanglang buana mewujudkan apa yang mereka pandang sebagai sharing.

Kapsul waktu perguruan tinggi hanya perlu menjadi kapsul waktu, memorabilia ketika generasi selanjutnya mengenang dengan hormat dan penuh makna para pendahulunya. Perangkap kapsul waktu secepatnya perlu dilepaskan dengan keterlibatan aktif, perubahan cara belajar-mengajar. Pemaknaan kembali sesuai kebutuhan generasi kini.

Kata-kata Carl Weiman menjadi tamparan keras untuk kita: "To learn something, you really have to be processing those ideas. I think of it as sort of exercising the neurons in the brain. Sitting there listening to someone-where it's just flowing pass you-you're not doing that mental processing. You're not exercising the brain and you walk out without really learning anything" (Carl Weiman, wawancara dengan NPR, 5 Juni 2017).

Semoga perguruan tinggi tidak lagi terperangkap dalam kapsul waktu.

ELISABETH RUKMINI

Akademisi, Unika Atma Jaya Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Terperangkap dalam Kapsul Waktu".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger