Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 Juni 2017

Kesetaraan dalam Pancasila (EVA K SUNDARI)

Komitmen kesetaraan dalam kebinekaan Indonesia sudah ditegaskan di pidato Soekarno, 1 Juni 1945, saat menjelaskan arti negara-bangsa. Bahwa pendirian negara merdeka bukan untuk satu golongan, kaum, atau kelompok saja, tetapi untuk semua.

Satu untuk semua, semua untuk semua. Kesetaraan tersebut ditegaskan Soekarno yang menyatakan bahwa bentuk negara merdeka kelak adalah berdasar negara hukum konstitusi bukan berdasar kekuasaan. Dalam UUD 1945 Pasal 27 (1) dan Pasal 28D (1) memuat penegasan kesamaan kedudukan di hadapan hukum, lepas dari agama, suku, golongan atau unsur primordial lainnya.

Meski demikian, tuntutan privilese mayoritas atas minoritas tak ada basis legal dan legitimasinya karena kesetaraan sudah jadi konsensus pendirian negara. Pidato Soekarno diterima secara aklamasi oleh forum resmi Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian bertransformasi menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Keterlibatan simultan dan komprehensif Soekarno sebagai intelektual pencetus Pancasila sebagai dasar negara di BPUPKI berlanjut ketika dia ditunjuk sebagai ketua PPKI, ketua panitia 8, dan ketua panitia 9. Ini menunjukkan peran langsung Soekarno mengawal penyempurnaan rumusan Pancasila berikut pemaknaannya di setiap versi Pancasila.

Peran Soekarno digenapi peran politiknya sebagai Presiden dengan Dekrit Juli 1959 yang menetapkan Pancasila seperti di Pembukaan UUD 1945 saat ini.

Penerimaan Pancasila bukan saja karena fungsinya sebagai pemersatu melawan penjajah, tetapi karena fungsi sosial dan budayanya memang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan berbangsa dan bernegara setelah merdeka. Ini dinyatakan secara eksplisit oleh KH Ahmad Siddik sebagai alasan NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal di awal 1980-an.

Kesetaraan Pancasila dimulai dari kedudukan sila-sila itu sendiri. Soekarno tegas mengingatkan hal tersebut dalam pidato 1 Juni 1945. Bahwa, urutan tidak menunjukkan gradasi, antarsila saling menjiwai dan peleburan kelima sila menjadi "gotong royong" menunjukkan kesetaraan antarsila tersebut.

Kesetaraan jender dan kesetaraan kebinekaan

Soekarno-pada kursus Pancasila di Istana Negara pada 22 Juli 1958-mengupas  kesetaraan jender dalam sila ke-2, yang berisi konsep kemanusiaan (humanity). Nilai kesetaraan berasal dari jiwa theis(berketuhanan) dari penduduk Indonesia yang agraris sehingga memercayai kekuatan di luar dirinya (alam dan pengaturnya) yang menentukan kehidupan pertanian mereka.

Ketergantungan pertanian pada bulan dan bintang diwujudkan pada pilihan warna bendera gula kelapa, yaitu merah-putih. Merah matahari mencerminkan keberanian dan darah merah perempuan dan warna putih bulan lambang regenerasi representasi mani laki-laki.

Selanjutnya, sila ke-2 dengan lambang rantai persegi dan bulat saling menyambung tidak berkesudahan menunjukkan saling ketergantungan antara laki dan perempuan. Kerja sama demi keberlanjutan regenerasi sebagai bangsa maupun untuk mencapai tujuan negara merdeka berupa keadilan sosial.

Kesetaraan laki-perempuan sebelumnya sudah ditegaskan Soekarno dalam bukuSarinah (1947), yang menganalogikan laki-perempuan sebagai dua sayap burung garuda yang harus sama- sama kuat untuk dapat terbang tinggi dan jauh. Kedua sayap punya tujuan yang sama, yaitu kemajuan bangsa dan negara.

Sebagai seorang nasionalis religius, Soekarno percaya kesetaraan perempuan adalah kodrat/sunatullah sehingga pembebasan perempuan dari penindasan feodalisme dan imperialisme menjadi tugas negara dan masyarakat. Soekarno menentang ide pembebasan perempuan demi kepentingan individual perempuan itu sendiri, tetapi demi memberikan manfaat bagi perjuangan mencapai keadilan sosial di Indonesia.

Ketika Pancasila sudah lolos ujian kesetaraan jender, bisa dikatakan Pancasila akan akomodatif terhadap kesetaraan untuk isu ataupun kelompok masyarakat. Kesetaraan jender sering dikatakan sebagai pembelah isu masyarakat patriarkat, terutama terkait isu subordinasi berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang sering berdampak pada diskriminasi.

Sebagai negara mayoritas Muslim dan majemuk dari sisi etnik, tidak lepas dari serangan global radikalisme dan ekstremisme yang dipicu oleh praktik intoleransi beragama. Tulisan "Warisan" dari FB Asa Firda Inayah, Kompas, Selasa (23/5), yang mendapat respons heboh warganet mengonfirmasi bahwa Indonesia sedang mengalami darurat toleransi beragama.

Ekstremisme merupakan akumulasi perilaku gradasi mulai intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme hingga puncaknya adalah terorisme. Karena ekstremisme adalah produk pendidikan dan pengajaran, maka untuk menghentikannya adalah intervensi di sumbernya, yaitu oknum-oknum penyebar intoleransi. 

Ujaran kebencian (hate speech) yang berisi intoleransi harus ditangani secara tegas. Jangan ada lagi pembiaran, bahkan harus ditolak dan dihentikan sekaligus digenapi dengan upaya untuk rehabilitasi masyarakat berupa pendidikan tentang kesetaraan dan toleransi. Pancasila adalah jalan keluar terhadap problem intoleransi yang bisa diterima semua orang yang mempunyai gairah untuk hidup bersama di Indonesia sebagai bangsa (Ernest Renan). Pancasila adalah ideologi dan cara hidup (way of life) bangsa Indonesia. Nilai-nilai kesetaraan dan toleransi Pancasila harus diajarkan, dipraktikkan, dan diinternalisasi secara kelembagaan ke semua jalan kebudayaan, terutama di sektor pendidikan, politik, dan agama.

Vakumnya pengajaran dan pelembagaan nilai-nilai Pancasila membuka ruang bagi penyebaran intoleransi, diskriminasi yang tidak sesuai dengan Pancasila. Kepungan sikap intoleransi yang masif-intensif saat ini harus jadi momentum untuk aksi-aksi pengajaran dan penyebaran Pancasila. Jika tidak bangsa ini bisa retak karena saling membenci atas dasar perbedaan-perbedaan etnik-agama yang seharusnya bisa jadi rahmat bagi umat.

EVA K SUNDARI

KAUKUS PANCASILA DPR-F PDI PERJUANGAN DPP; ALUMNI GMNI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Kesetaraan dalam Pancasila".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger