Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 05 Juni 2017

TAJUK RENCANA: Hukum sebagai Panglima (Kompas)

Edisi akhir pekan harian ini menulis judul "Hentikan Main Hakim Sendiri". Judul itu untuk meneruskan pesan Presiden tentang persekusi yang marak.

Mengutip data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat 59 korban persekusi sejak 27 Januari hingga akhir Mei 2017. Dalam realitasnya, persekusi diartikan sebagai intimidasi terhadap korban yang menulis di media sosial yang isinya dianggap menghina tokoh. Korban diintimidasi sekelompok orang dan dipaksa menandatangani permintaan maaf bermeterai. Kekerasan verbal kadang terjadi.

Diksi persekusi tergolong baru dalam khazanah hukum Indonesia. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekusi diartikan pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Memerkusi berarti menyiksa atau menganiaya. Sementara jika mengacu pada Statuta Roma tahun 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional–Indonesia belum meratifikasi–persekusi tergolong tindakan melawan kemanusiaan. Persekusi diartikan penganiayaan terhadap kelompok berdasarkan politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, dan jender yang tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional.

Statuta Roma jelas tak bisa diterapkan dalam aksi yang disebut sebagai persekusi akhir-akhir ini. Sejumlah pasal dalam KUHP bisa saja diterapkan untuk aksi yang disebut persekusi. Namun, yang pasti, aksi main hakim sendiri tak bisa dibenarkan. Kelompok masyarakat tidak punya hak memaksa seseorang untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Seharusnya semua konflik dalam masyarakat diselesaikan melalui jalur hukum. Jadikan hukum sebagai panglima untuk menyelesaikan konflik. Untuk itu, dibutuhkan penegak hukum imparsial yang bisa menegakkan hukum terhadap siapa pun yang diduga melanggar hukum.

Melihat korban main hakim sendiri, hal itu bersumber pada opini di hutan belantara media sosial yang sering dipenuhi ujaran kebencian. Media sosial memberikan ruang untuk itu. Namun, pada saat yang sama harus disadari, media sosial terdiri dari berbagai kepentingan dan berbagai kelompok di masyarakat.

Sama dengan berkomunikasi dalam dunia nyata, berkomunikasi di media sosial juga ada rambu. Pasal dalam KUHP bisa diterapkan. Pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik bisa dijeratkan. Etika berkomunikasi di media sosial harus terus digemakan agar kegiatan bermedia sosial tidak melahirkan aksi main hakim sendiri, tetapi bisa membangun solidaritas sosial antar-anak bangsa.

Kembali ke isu utama, main hakim sendiri tak bisa dibenarkan! Negara harus berbuat. Dalam situasi sekarang, kecerdasan dan bijak dalam berkomunikasi diharapkan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Hukum sebagai Panglima".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger