Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 19 Juni 2017

TAJUK RENCANA: Tidak Ada Kata Buntu (Kompas)

Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu masih berlangsung. Tarik-menarik kepentingan antar-fraksi terjadi, sementara waktu kian mepet.

Salah satu poin krusial yang belum ada titik temu adalah persyaratan soal ambang batas pencalonan presiden. Pemerintah dan fraksi-fraksi berbeda pendapat. Ada tiga pendapat di sana. Pemerintah menghendaki ambang batas pencalonan presiden adalah 20 persen perolehan kursi DPR. Sementara ada fraksi yang menghendaki nol persen. Ada kelompok fraksi yang menghendaki 6,5 sampai 10 persen suara nasional.

Tiap fraksi punya argumentasi. Masalah ambang batas pencalonan presiden menjadi kompleks menyusul putusan Mahkamah Konstitusi, 23 Januari 2014, yang menyebutkan, Pemilu 2019 adalah pemilu serentak, yaitu pemilu presiden, pemilu DPR, pemilu DPD, pemilu DPRD provinsi, dan pemilu DPRD kabupaten/kota, dilaksanakan pada hari yang sama. Pemilu itu dikenal sebagai pemilu lima kotak.

Karena prinsip keserentakan itulah, maka sejumlah fraksi menafsirkan, tak dibutuhkan syarat untuk pencalonan presiden. Setiap parpol peserta pemilu berhak mengusung calon presiden. Meskipun dalam putusan MK tidak menegaskan soal ambang batas persyaratan pencalonan presiden. Hakim Maria Farida Indrati dalam pendapat berbedanya (dissenting opinion) menolak gugatan pemilu dilakukan serentak karena itu adalah bagian dari pembuat undang-undang atau open legal policy.

Pemerintah dan fraksi yang mengusulkan ambang batas persyaratan pencalonan presiden akan menggunakan hasil Pemilu 2014. Padahal, hasil Pemilu 2014–20 persen suara DPR dan 25 persen suara nasional–telah dipakai untuk Pemilu Presiden 2019. Jika konstruksi itu dipakai, maka hasil Pemilu 2019 baru akan dipakai untuk Pemilu 2024 jika tak ada lagi perubahan UU Pemilu.

Kita dorong pemerintah dan fraksi-fraksi terus bernegosiasi untuk musyawarah mufakat sebagaimana diterakan dalam Pancasila. Tidak ada kata buntu dalam politik. Bukankah politik adalah seni untuk mencari berbagai kemungkinan.

Saran agar pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), jika pembahasan RUU Pemilu buntu, benar secara konstitusi, tetapi tidak tepat dalam konteks politik. Usul menggunakan undang-undang yang masih berlaku sekarang juga tidak tepat karena UU No 42/2008 tentang Pemilu tak bisa dipakai karena sejumlah pasalnya sudah dibatalkan MK.

Tiada kata lagi, semua perlu duduk bersama untuk musyawarah mufakat. Peran Presiden sebagai kepala negara penting untuk merumuskan mufakat bersama. Kepentingan kekuasaan seyogianya dikesampingkan agar bangsa ini punya desain undang-undang pemilu yang langgeng dan bisa melembagakan demokrasi. Gonta-ganti UU Pemilu jelang pemilu tidak mendewasakan demokrasi, tetapi hanya wujud pertarungan pragmatisme politik belaka.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Tidak Ada Kata Buntu"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger