Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 22 September 2017

Pembangunan Bias Daratan (SUWIDI TONO)

Ada dua indikasi ajek yang terus bertahan sejak era kolonial sampai sekarang. Pertama, sebaran penduduk dan kontribusi ekonomi setiap kawasan regional dalam pembentukan pendapatan agregat nasional relatif stagnan. Kedua, ekspor didominasi komoditas ekstraktif atau produk turunan dengan nilai tambah terbatas (Hal Hill, Unity and  Diversity, 1989).

Awetnya ketimpangan  Jawa-luar Jawa dan Indonesia bagian barat-timur, selain problem pemerataan dan keadilan pembangunan, juga petunjuk nyata tak cukup tersedia stimulus besar untuk menggerakkan sumber-sumber  pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di daerah.  Fakta lain adalah makin tertinggalnya wilayah kepulauan dalam mendapatkan fasilitas pelayanan publik utama (pendidikan, kesehatan, dan akses ekonomi).

Ratusan pulau berpenghuni, seperti di Provinsi Maluku (92,6 persen merupakan wilayah lautan), Kepulauan Riau (96 persen), Nusa Tenggara Timur (80,8 persen wilayah laut), Bangka Belitung (79,9 persen wilayah laut), dan Sulawesi Utara (95,8 persen wilayah laut), semakin sukar mengatasi ketertinggalan dalam meraih kesejahteraan dan beroleh pelayanan publik berkualitas.

Sebanyak 122 daerah tertinggal di Indonesia (sesuai PP No 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal 2015-2019), sebagian besar berada di kawasan timur. Lima provinsi yang paling banyak memiliki daerah tertinggal semua berada di kawasan timur, yaitu Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Hal ini jelas tecermin dari data  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kategori sedang (skor 60- <70) dan rendah (skor di bawah 60) di kawasan timur Indonesia yang mencapai 66,4 persen dan 18,1 persen (BPS, 2015). 

Asimetri dan afirmasi

Selama ini, keadilan dan pemerataan anggaran melalui formula transfer dana pusat ke daerah dalam APBN mengandung dua cacat prinsip. Pertama, perhitungan dan pembobotan dana transfer umum dan khusus ke daerah lebih mengutamakan jumlah penduduk dan luas daratan ketimbang luas wilayah laut atau perairan dan problem keterisolasian. Formula ini tidak memperhitungkan pembangunan berbasis potensi sumber daya kelautan dan fakta berupa keterbelakangan kronis di wilayah kepulauan.   

Kedua, kekosongan hukum dan ketiadaan perhatian khusus di wilayah kepulauan belum dibarengi kebijakan diskresi dan afirmasi sebagai perwujudan atau pengakuan desentralisasi asimetris.  Profil Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebanyak 85 kabupaten/kota berciri kepulauan tahun 2017 mengonfirmasikan hal itu. Rata-rata kemampuan 85 kabupaten/kota kepulauan tersebut dalam menggalang pendapatan asli daerah hanya 9,2 persen. Sisanya, 76,7 persen, berasal dari dana perimbangan (DAU, DBH, DAK) dan 14,1 persen berupa pendapatan lain-lain.

Dari total pendapatan APBD nasional 2017 sebesar Rp 1.054 triliun, alokasi untuk daerah kepulauan (8 provinsi dan 85 kabupaten/kota) hanya Rp 105,58 triliun, sangat timpang dibandingkan dengan alokasi untuk daerah bukan kepulauan (27 provinsi dan 428 kabupaten/kota) sebesar Rp 945,75 triliun. Defisit celah fiskal dalam APBD yang sangat besar ini amat mengkhawatirkan jika terus-menerus dibiarkan tanpa perubahan kebijakan anggaran yang berfungsi membangkitkan pendapatan daerah kepulauan.  

Apabila kondisi ini terus berlangsung, kesenjangan pembangunan dan akses layanan dasar bukan saja semakin melebar, melainkan juga mengundang kerawanan di kemudian hari. Program Nawacita yang mengusung tekad "membangun Indonesia dari pinggiran"  dan "mengedepankan pembangunan maritim" sebagai perwujudan  "negara hadir" kini ditunggu realisasinya.

Terapi undang-undang

Jumlah pulau di Indonesia yang resmi tercatat dan terdaftar dalam United Nations Conferences on the Standardization of Geographical Names sebanyak 16.056 pulau (Kompas, 21/8). Panjang garis pantai 99.093 kilometer dan luas laut 5,8 juta kilometer persegi dengan 2,7 juta kilometer persegi merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Sebagai ilustrasi, Vietnam yang panjang garis pantainya sepertiga puluh Indonesia (3.000 kilometer berbanding 99.000 kilometer) dan ZEE  hanya sepertiga Indonesia (1 juta kilometer persegi berbanding 2,9 juta kilometer persegi), ekspor produk perikanannya mencapai 7 miliar dollar AS, sedangkan Indonesia hanya 4 miliar dollar AS pada 2016.

  Indonesia juga produsen rumput laut terbesar di dunia dengan kontribusi 56 persen (produksi rumput laut kering 237.800 ton dari total produksi dunia 424.000 ton tahun 2016), tetapi hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah, bukan produk olahan bernilai tambah tinggi. Sementara China menghasilkan sekurang-kurangnya 17 industri turunan rumput laut bernilai tambah tinggi. 

Tidak optimalnya pengelolaan dan budi daya potensi laut mengerucut pada persoalan klasik: keterbatasan infrastruktur, terutama ketersediaan listrik untuk industri pengolahan, konektivitas pelayaran antarpulau rendah, wewenang dan urusan pemda terbatas, pengembangan produksi tidak fokus pada komoditas unggulan ekspor, dan minimnya afirmasi pendanaan.

Kekhususan dan fakta empirik berupa keterbelakangan (disadvantage region) di semua aspek tersebut membutuhkan payung hukum, bukan sekadar diskresi kebijakan. Jika terhadap DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Aceh, Papua, dan Papua Barat negara mengakui sifat kekhususan dan keistimewaan, maka terhadap daerah kepulauan semestinya juga mendapatkan pengakuan serupa. Berbeda  dengan kelima provinsi tersebut, sifat kekhususan daerah kepulauan tidak perlu dengan menciptakan rezim pemerintahan daerah baru, tetapi cukup memberikan perlakuan khusus pada tiga kebutuhan penting: ruang, wewenang, dan pendanaan.      

Dalam kaitan ini, inisiasi oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menyusun Rancangan UU Daerah Kepulauan yang masuk Program Legislasi Nasional 2017 patut direspons dengan segera. Gagasan pembentukan RUU itu telah bergulir sejak 12 tahun lalu, tetapi "menguap" begitu saja. Ditinjau dari sisi filosofis, historis, sosial, ekonomi, dan empirik, urgensi UU tersebut merupakan keniscayaan, sebagaimana amanat Pasal 18 A (Ayat 1) dan Pasal 18 B (Ayat 1) UUD 1945.

Keengganan menerapkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas dalam kebijakan  dana transfer ke daerah dan sebaliknya bersikukuh pada formula anggaran baku,   terbukti dari rezim ke rezim tidak mampu mengubah ketimpangan terstruktur. Kendati perhatian pemerintah terhadap daerah kepulauan-dengan karakteristik: terluar, terisolasi, dan tertinggal-mulai meningkat, perhatian itu tidak cukup tanpa disertai kepastian hukum yang dijamin undang-undang.  

Dari simulasi anggaran 2017, besaran dana khusus kepulauan yang dibutuhkan agar dapat mengejar kemajuan atau minimal sama dengan daerah bukan kepulauan mencapai Rp 92,5 triliun (Rp 52 triliun untuk 8 provinsi kepulauan dan Rp 40,5 triliun untuk 85 kabupaten/kota kepulauan). Seandainya pemerintah dan DPR sepakat mengalokasikan 5 persen dana transfer umum (dana alokasi umum plus dana bagi hasil), rata-rata provinsi kepulauan akan mendapat tambahan dana pendapatan Rp 1,058 triliun dan rata-rata 85 kabupaten/kota kepulauan sebesar Rp 216 miliar. Jumlah itu cukup signifikan untuk mendongkrak APBD provinsi dan kabupaten/kota kepulauan masing-masing 30,4 persen dan 21,3 persen.

Penggunaan tambahan anggaran itu tentu perlu dipandu secara ketat, terutama untuk membangun sektor ekonomi kelautan prioritas: perikanan tangkap dan budi daya, industri pengolahan hasil perikanan dan bioteknologi, pertambangan dan energi,  pelayaran, jasa kelautan, hutan mangrove, dan sumber daya terbarukan.  Selain itu, pembangunan sarana dan prasarana daerah (laut, darat, dan udara) yang berfungsi memperlancar konektivitas perhubungan dan mencegah keterisolasian juga perlu dapat penanganan saksama.  

Momentum yang pas

Pola pikir maritim belum tentu mendapatkan momentumnya sebesar sekarang ini, ketika sumber-sumber pembangunan ekonomi sedang mengalami tekanan besar akibat surutnya peran migas dan volatilitas produksi industri ekspor bahan mentah yang berakibat menurunnya penerimaan negara.

Fenomena growth without development(pertumbuhan tanpa disertai pembangunan) berupa pengisapan sumber daya alam di daerah-daerah kepulauan harus diakhiri. Potensi ekonomi kelautan, perikanan, pariwisata bahari, energi terbarukan, biofarmatika, transportasi laut, minyak dan gas bumioffshore, serta lainnya yang ditaksir bernilai ratusan miliar dollar AS,  dapat terealisasikan jika terdapat keberpihakan, pengakuan, dan prioritas yang nyata dan terukur.

Di masa lalu, sering didendangkan lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut"  sebagai ekspresi kebanggaan dan kecintaan mendalam atas eksistensi kebaharian kita. Jalesveva Jayamahe (jaya di laut) hanya mungkin diraih jika kita menghormati dan memulihkan martabat ini.  

SUWIDI TONO

KOORDINATOR FORUM

"MENJADI INDONESIA"

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Pembangunan Bias Daratan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger