Persoalan sesungguhnya tak hanya itu. Sebab, kita dituntut untuk menggali lebih jauh; apa dan mengapa "ormas-ormas" harus diatur secara ketat.
Ada tuntutan basis pemikiran mengapa perppu tersebut diafirmasi oleh tujuh parpol (PDI-P, Golkar, Nasdem, dan Hanura, serta PPP, PKB, dan Demokrat yang setuju dengan catatan), maupun ditolak oleh tiga parpol lainnya (Gerindra, PKS, dan PAN). Aspirasi kedua belah pihak tentu perlu diberi telinga. Namun, dibutuhkan diskursus lebih mengapa diterima atau ditolak.
Bahaya bisnis ormas
Ketika perppu itu diterima atau ditolak, apakah urusan selesai? Tentu tidak. Partai politik yang menerima dan yang menolak sama-sama punya pekerjaan rumah. Sebab, ada titik hitam yang luput dari diskursus perppu tersebut, yakni relasi ormas, politik, dan bisnis. Ini tiga sekawan yang sulit dipisahkan, baik dalam untung maupun malang.
Dalam relasi itu, ormas-ormas tidak lagi mengenai ormas pada dirinya sendiri, sebagaimana pemahaman umum civil society organizations (CSOs). Sebab, di balik itu terdapat mesin penggerak utama. Orientasinya tak lagi berupa CSOs sebagai perangkat dasar demokrasi partisipatif, yakni ormas-ormas hadir sebagai bentuk masuknya masyarakat kecil dalam demokrasi.
Relasi ormas dengan politik dan bisnis bersifat eksploitatif dua arah. Karena itu, jika kita mau dan berniat baik, ruang bedah utama soal perppu itu terletak di sana. Sebab, pada dasarnya demokrasi tanpa CSOs hampir pasti tumpul. CSOs tanpa kapital juga mati, sebab ia membutuhkan uang (bisnis) dan kekuasaan (politik).
Nah, bisa dibaca bahwa gerak- gerik sebagian ormas belakangan ini kerap disesaki muatan politik. Wujudnya dalam rupa eksploitasi kekuatan massa guna mengencangkan daya cengkeram politik. Memainkan strategi itu pada mulanya tampak biasa dan dianggap normal dalamthe real politics. Namun, kekuatan ini bisa mencelakan jika tak dikontrol secara baik.
Di balik itu, yang harus disadari secara betul adalah tentang sifat massa. Eksploitasi massa pada level kuantitatif dan sekadar transaksi politik bisa dengan mudah direm. Sebab, gerakan perubahan bernama revolusi dan reformasi butuh (tekanan) massa. Pada tataran ini, gerakan itu bersifat kuantitatif belaka untuk tujuan mengambrukkan kekuasaan otoriter ataupun lawan dengan pemanfaatan massa sebanyak-banyaknya.
Namun, bahaya besar terjadi jika eksploitasi massa disusupi muatan-muatan ideologi eksklusif dan sempit, katakanlah ideologi bercorak SARA. Eksploitasi massa tersebut bisa berubah menjadi sangat kualitatif. Maksudnya, kehadiran ormas-ormas tersebut tidak bisa lagi dianggap sepele, seperti sebuah kerumunan biasa atau sekadar kumpulan massa yang berontak.
Mereka rentan bermetamorfosis menjadiorganized mass; massa yang terorganisasi secara apik karena ditopang ideologi eksklusif, sumber dana, dan kepentingan politik yang sangat jelas. Lebih jauh, mereka tak lagi sekadar menjadi tirani mayoritas barbarik jalanan. Namun, di tataran elite mereka bisa berubah ke arah penghapusan ideologi inklusif yang berlaku bagi seluruh penghuni republik.
Ekses paling buruk bisa berbuntut pembersihan etnik-baik secara sosio-kultural, psikologis, maupun fisik-oleh mayoritas ke minoritas. Ini bisa berlaku di mana saja. Sebab, keyakinan ideologis lebih condong mengorganisasikan massa secara kuat dari dalam. Artinya, gerakan-gerakan itu dilakukan secara sadar untuk tujuan implementasi ideologi eksklusif yang diyakini, bahkan dengan pemaksaan kehendak mayoritas; tirani mayoritas.
Alasannya, tirani mayoritas hanya akan terjadi jika terjadinya eksploitasi ideologi-ideologi sempit, apalagi ideologi agama, yang dipakai sebagai pemandu gerakan. Sebab, agama itu urusan keyakinan. Keyakinan tak butuh dialog, diskursus, apalagi debat ilmiah. Karena tak ada dialog, urusan pemaksaan berlaku dominan. Karena itu, menunggang ideologi eksklusif untuk kepentingan politik sama artinya memboyong bangsa ini ke negara gagal. Lalu bagaimana?
Tugas parpol
Bangsa ini perlu membuka kembali sejarah kelam negara-negara yang gagal total mengendalikan gelombang dahsyat dan tubrukan keras akibat eksploitasi ideologi sempit bagi kepentingan politik. Pembantaian jutaan umat Yahudi oleh Nazi di Jerman, konflik berdarah antara Tutsi dan Hutu di Rwanda, dan boncengan isu etnik pada Reformasi 1998 yang berdarah itu harus dipakai sebagai kaca pembesar guna melihat kondisi Indonesia saat ini.
Parpol-parpol berdiri mengangkang di antara dua bibir jurang: integrasi atau disintegrasi NKRI. Parpol berperan penting untuk dua pilihan itu. Kesehatan paradigma berpikir parpol-parpol menentukan kesehatan politik dan kesehatan bangsa secara keseluruhan. Demikian halnya dalam tautannya eksistensi ormas-ormas. Parpol berperanan besar menjadi remote controlatas mereka; peran rusak atau baik.
Peran rusak jika berkehendak untuk mengeksploitasi ormas- ormas dan ideologi-ideologi sempit yang mereka usung untuk tujuan pragmatisme politik. Namun, perlu diingat bahwa langkah ini riskan bagi demokrasi, apalagi dalam negara majemuk. Sebab, demokrasi membutuhkan dialog dan penalaran-penalaran yang masuk akal. Sementara eksploitasi massa via penciptaan ormas-ormas berideologi sempit, apalagi yang bertubuh SARA, secara otomatis meminggirkan dialog, interaksi, apalagi diskursus yang beradab.
Persis di sanalah jantung permasalahan mengapa ormas-ormas destruktif harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu stabilitas. Ormas-ormas itu mirip peluru kendali karena bisa dikendalikan oleh kepentingan elite-elite politik. Mereka pun tak lebih dari mainan-mainan elite politik. Karena itu, mengendalikan mereka juga menjadi tugas parpol-parpol.
EDUARDUS LEMANTO

Tidak ada komentar:
Posting Komentar