Pandangan berkenaan dengan defisit dan keberlanjutan JKN bisa diguguskan sedikitnya ke dalam tiga kelompok.

Kelompok A: setuju menaikkan iuran untuk memenuhi harga kini yang, untuk menghitungnya, sangat mungkin menggunakan asumsi sehingga bisa bias. Terbukti bahwa rasio klaim 92 juta penerima bantuan iuran (dari APBN) tiga tahun berturut turut berada di kisaran 65 persen.

Kelompok B: manfaat JKN "disesuaikan", bukan diturunkan. Pendapat kelompok ini adalah bahwa klinik dan rumah sakit dibayar dengan harga kini, yang berasal dari dua sumber: (1) JKN berupa tarif INA-CBGs maupun kapitasi dan (2) dengan kesempatan urun-biaya terkendali bagi yang mampu.

Kelompok C: lebih menekankan mendorong 30 juta buruh/karyawan dipaksa mendaftar dengan tujuan agar terjadi kualitas bauran 210 juta peserta menjadi lebih baik. Kini dari 182 juta peserta, hampir 10 persen butuh biaya besar akibat menderita sakit katastropik-kronis saat mendaftar. Ini patut diduga penyebab defisit berkepanjangan. Apalagi, kita mengatur hak manfaat JKN, memberi pilihan kelas iuran yang terhubung dengan manfaat yang bisa jadi ditafsirkan berbeda dari maksud UU tentang SJSN.

Ke depan ini akan kita lihat apakah Presiden akan mendengar mana dari ketiga kelompok di atas yang akan dipilih atau beliau memilih kombinasi. Kalau APBN berlanjut harus menghemat, kombinasi B dan C akan lebih dipahami. Sedikitnya ada tiga alasan pilihan kombinasi. Pertama, kedua pilihan itu memiliki landasan di level undang-undang. Kedua, kombinasi ini akan membuka peluang bagi profesional tenaga kesehatan leluasa menjaga marwah memenuhi komitmennya. Ketiga, relaksasi sumber pembiayaan pengobatan melalui kedua kelompok pendapat di atas akan membuka lapangan kerja dan usaha terkait industri kesehatan. Pilihan ini juga memenuhi keadilan individu dengan tetap memenuhi hak jaminan kesehatan seperti diamanatkan keadilan sosial.

Pilihan segera presiden dibutuhkan agar JKN tetap berlanjut yang, dalam tahun keempat, sudah menghilangkan "sadikin" alias "sakit sedikit miskin".

Odang Muchtar, Praktisi Jaminan Sosial dan Asuransi

 

Pendidikan Kita

Tahun lalu di rubrik ini saya menulis keprihatinan saya di bidang pendidikan: seorang siswa SMA negeri yang baru saja selesai mengikuti ujian nasional tak mampu mengenali Kalimantan, Jawa, dan Sumatera pada peta Indonesia di majalah maskapai penerbangan.

Minggu lalu, ketika makan siang di sebuah warung tenda di bilangan Lebakbulus, saya dan seorang teman memesan jus buah. Kami dilayani anak perempuan penjual jus buah yang sudah kenal saya.

Putrinya ini kuliah semester tiga di jurusan akuntansi pada universitas swasta antara Jakarta dan Ciputat. Kami pun mengobrol ringan dan saya kaget karena dia tak tahu Vietnam, apalagi letaknya di mana. Terlebih lagi ketika saya tanya Nigeria di Afrika yang ada Boko Haram, mahasiswi ini makin kebingungan karena tidak tahu.

Dia mengatakan—karena saat ini membantu ibunya berjualan—tidak belajar dan tidak tahu Vietnam maupun Nigeria.

Lebih dari 50 tahun yang lalu saya sebagai murid SR (sekolah rakyat, sekarang SD) sudah belajar peta buta untuk nama pulau-pulau di Indonesia.

Sugeng Hartono, Bona Indah Blok A, Lebakbulus, Jakarta Selatan

 

Kantor Pos dan Pelosok Lain

Kami sangat kecewa dengan pelayanan Kantor Pos Serang, Banten: paket nomor resi 15626598413 yang seharusnya diantar ke alamat kami di pinggir jalan besar justru menyasar dan diantarkan ke pelosok kelurahan lain yang berjarak 1 kilometer dari alamat kami. Kejadiannya pada 23 Oktober lalu.

Adakah prosedur operasional standar di kantor pos?