Ide membentuk Densus Tipikor memang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Ada yang memandang Densus Tipikor tidak akan berbenturan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyasar korupsi di banyak daerah yang tidak terjangkau KPK. Dengan melibatkan 3.560 polisi dengan anggaran Rp 2,6 triliun, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, Densus Tipikor tidak akan berbenturan dengan KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan KPK tidak dalam posisi menyetujui atau menolak Densus Tipikor. KPK hanya akan menyarankan Presiden Joko Widodo agar masalah korupsi ditangani lembaga yang sudah ada.

Pandangan lain melihat pembentukan Densus Tipikor sebenarnya dilatarbelakangi perilaku KPK sebagai "anak nakal reformasi" yang tidak bisa dikontrol kekuasaan dalam memberantas korupsi. KPK dianggap menabrak fatsun politik dalam pemberantasan korupsi. Padahal, yang namanya korupsi, ya, korupsi. Sampai-sampai ada pejabat negara yang mengatakan, "Kalau OTT terus, pejabat akan habis." Faksi ini ingin menempatkan KPK berfungsi sebagai lembaga pencegah korupsi atau semacam ombudsman negara.

Gagasan pembentukan Densus Tipikor telah membelah. Polarisasi pandangan ada di level pemerintahan maupun di level parlemen. Kejaksaan Agung tak menghendaki kewenangan penuntutan yang selama dijalankan Jaksa Agung berada dalam Densus Tipikor. Melalui Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), pemberian anggaran Rp 2,6 triliun tidak adil bagi penegak hukum lain. Posisi Wakil Presiden Jusuf Kalla lebih tegas. Belum diperlukan Densus Tipikor.

Gagasan Densus Tipikor terbukti telah menciptakan polemik dan kegaduhan politik baru, dan kegaduhan itu datang dari elite sendiri. Padahal, publik berkeinginan agar pemberantasan korupsi dijalankan secara serius tanpa pandang bulu. Untuk menjawab keinginan publik, jawabannya adalah justru memperkuat KPK agar lembaga itu lebih punya gigi untuk menindak pelaku korupsi, punya agenda untuk mencegah terjadinya korupsi. Dan menyamakan pandangan bahwa pelaku korupsi adalah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.

Daripada ribut soal Densus Tipikor karena belum adanya kesatuan pandangan, dan itu akan membuang energi, mending fokus memperkuat KPK dan mengerjakan isu lain yang lebih mendasar. Gagasan Densus Tipikor bagus, tetapi kondisi dan waktunya kurang tepat. Biarlah Polri konsentrasi pada tugas pokoknya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat serta penegak hukum. Untuk menyelesaikan itu semua, kata akhir ada pada Presiden.

 
KOMPAS