Didudukkan dalam ranah bahasa, pidato Anies sedang menunjukkan bahwa teks bukanlah sebuah institusi yang otonom sebagaimana diimani oleh penganut linguistik struktural. Bahasa bukan sesuatu yang steril seperti yang diajarkan kepada siswa sekolah menengah.

Bahasa adalah sebuah jaringan yang kompleks. Ia bahkan bisa serupa rhizome, akar yang menjalar di bawah permukaan tanah dan dapat menghasilkan tunas atau akar lain, di mana saja ia dapat muncul.

Metafora mati

Satuan terkecil bahasa, yakni kata, sebagaimana dikatakan Ricoeur (1981), bahkan bersifat polisemik. Kata memiliki karakter yang multimakna, jauh sebelum ia didudukkan di dalam kalimat, apalagi teks yang lebih lengkap seperti pidato Anies Baswedan.

Taruhlah, misalnya, Anda tulis kata "politik", sepuluh kepala dimungkinkan punya sepuluh asosiasi makna tentangnya. Kata adalah maujud (entitas) yang memberi ruang terbuka bagi hadirnya sesuatu yang justru tidak tampak di dalam dirinya. Makna selalu tertunda sebab kata selalu menundanya, kata Derrida (dalam Royle, 2003). Penulis telah mati, ujar Barthes (1990). Dan itu semua berarti bahwa kata (teks) selalu akan hidup.

Berada pada sebuah jaringan atau tenunan (textile), tentu tidak seluruh kata di dalam teks (tenunan kata) menjadi pembangkit makna asosiatif. Pidato Anies hidup (viral) bukan karena keseluruhannya, melainkan justru karena dipicu oleh satu kata saja, yakni kata pribumi.

Dalam jaringan teks yang saling bertegangan, satu kata yang dipilih Anies ini bahkan mematikan makna teks secara keseluruhan, yang oleh penganut linguistik struktural diyakini sebagai institusi yang otonom tadi.

Yang menarik, kata pribumi dalam teks pidato Anies hidup justru karena ia telah lama mati. Artinya, diksi itu tidak lagi ajek sebagai kata bermakna denotatif di satu sisi, tetapi pada sisi lain telah mempersempit ruang asosiatif. Ia hanya memiliki satu makna asosiatif. Merujuk pada poros sintagmatik-paradigmatik Saussure (1988), kata pribumi hanya bertukar secara paradigmatik dengan etnik Tionghoa.

Itulah yang disebut Ricoeur (2003) sebagai metafora mati. Dalam istilah lain, kita biasa mengatakannya klise. Sebut saja kata "mawar", misalnya. Nyaris dalam berbagai situasi, imajinasi kita tentangnya lebih tertuju kepada makna asosiasinya. Kita justru sering harus menyampaikan dalam kalimat lengkap jika ingin menunjukkan makna denotasinya, yakni mawar sebagai sejenis bunga indah yang baunya harum.

Inti pengetahuan

Diksi (pilihan kata) yang memaksa ingatan kita pada satu pesan asosiatif demikian dapat dikatakan sebagai diksi yang telah "mendenotasi". Artinya, yang hidup di benak publik hanyalah makna yang semula asosiatif. Dan, sekali lagi, makna ini justru menggeser makna leksikal (denotasi awal).

Dengan demikian, diksi ini tidak lagi berada di ruang emotif, tetapi di ruang kognitif. Dalam perspektif Barthes (1976), ia telah menjadi mitos. Dan mitos, merujuk kepada Lyotard (2004), adalah inti pengetahuan. Di sinilah pula katapribumi menetap. Ia menjadi mitos dan karenanya membangun pengetahuan tertentu di benak masyarakat. Ketika disentuh, kata ini menjadi seperti mayat yang bangkit dari kematian.

Pertanyaannya, mengapa kebangkitannya terjadi demikian cepat dan mewabah seperti endemi. Lihatlah, sekonyong-konyong api berkobar. Padahal, sekali lagi, Anies hanya melempar ranting, bukan bensin. Anies bahkan menjelaskan kata ranting itu sebagai ranting dengan makna denotatif, sebelum ia melemparnya. Dengan kata lain, Anies telah mencoba meletakkan terlebih dahulu kata pribumipada makna leksikalnya.

Baiklah, kita sebut bahwa pidato Anies sebagai pidato politik. Di ruang politik kita, segala hal memang dapat tumbuh dengan cepat, seperti juga dapat mati dengan cepat. Ironisnya pula, ibarat lahan pertanian, politik kita adalah tegalan yang mudah ditumbuhi alang-alang ketimbang rumput jepang. Jadi, yang tumbuh dan mati dengan cepat juga alang-alang. Darinya kita lebih sering memanen duri daripada durian.

Tumbuhan politik sedemikian kemudian menjadi semacam kepala putik yang tiap saat memercik dan hinggap pada benangsari imajinasi masyarakat berbangsa. Benih politik ini lantas menumbuhkan karakter masyarakat yang gamang dan labil. Ini yang ingin saya sebut sebagai imajinasi politik polutif yang terus-menerus memenuhi benak masyarakat.

Sistem pendidikan, perekonomian, sistem peribadatan, media, dan lain-lain tidak bisa terhindar dari polusi ini. Akibatnya, di negeri ini hal-hal sensasional lebih mudah tumbuh daripada sebaliknya. Dalam siklus yang cepat, hal demikian terus muncul silih berganti. Instabilitas kultur sebagai ciri posmodernitas tidak berada di ruang dialektika, tetapi pada tradisi bergosip. Nyaris tidak ada refleksi pada setiap fenomena yang terjadi.

Trauma kolektif

Itulah masyarakat yang luka atau, lebih tepatnya, terus-menerus dilukai. Dari situ kemudian lahir semacam trauma kolektif yang menyebabkan lahirnya sensitivitas sebagaimana dimaksud di atas. Masyarakat menjadi reaktif dan mudah marah. Di situ, ingatan terhadap hal-hal buruk menjadi sangat mudah muncul. Dalam konteks ini masyarakat kita mudah melupakan, tetapi sekaligus juga gampang mengingat.

Demikianlah, sekali lagi, diksi pribumiyang dipakai Anies bangkit dengan cepat dari kematiannya sebab ia menetap di dalam sejarah luka, kebencian, dendam, dan seterusnya. Apakah Gubernur DKI Anies Baswedan menginsyafi hal ini? Bisa iya, bisa juga tidak. Jika iya, barangkali dengan diksi tersebut gubernur sedang menguji (test case), apakah calon warganya masih terluka atau telah sembuh. Jika tidak, bisa jadi diksi itu memang keluar dari bawah sadar dirinya, sebagai representasi dari luka kolektif tadi.

Terlepas dari keduanya, diksi tersebut terbukti bukan sekadar pilihan kata. Ia menjadi pilihan sejarah yang terus mewaris. Masa lalu itu memang memiliki kontribusi yang signifikan bagi masa kini. Gubernur Anies Baswedan tentu menyadari hal itu sehingga tidak akan menciptakan masa kini sebagai sejarah yang buruk bagi masa depan.

Semoga kata yang dipungut dari sejarah luka itu dipakai Anies justru untuk mencoba memutus mata rantai keburukan yang diwariskan masa lalu. Salah satu cara memadamkan api dalam kebakaran hutan memang dengan membakar sisi luar lahan yang terbakar tersebut sehingga rembetan api berhenti di titik luar yang dibakar itu.Bravo, Tuan Gouverneur! Selamat datang di hutan kata-kata!