AP PHOTO/ANDREW HARNIK

Presiden AS Donald Trump, kedua kiri dan Ibu Negara Melania Trump, serta Presiden China Xi Jinping dan istrinya Peng Liyuan berpose bersama di Kota Terlarang di Beijing, China, 8 November 2017

Kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke Asia akan berbeda dari langkah pendahulunya, Barack Obama, yang terus mengupayakan pertemuan antara prinsip dan pragmatisme (principles and pragmatism).

Presiden Trump adalah seorang presiden terpilih yang sangat berbeda karena ia tidak dekat dengan Partai Republik atau keyakinan-keyakinan Partai Republik yang tradisional, seperti dukungan pada aliansi, perdagangan bebas, dan kebijakan "Satu China". Dia adalah seorang presiden yang unik, tanpa pengalaman politik, dan punya kecenderungan untuk fleksibel dan menegosiasikan deal.

Strategi Indo-Pasifik

Yang patut disimak dari kunjungan Trump ke lima negara Asia adalah pengungkapan strategi Indo-Pasifik atau untuk lebih tepatnya sebuah Indo-Pasifik yang terbuka dan bebas. Hal inilah yang butuh kecermatan pandangan negara-negara Asia.

Rasa waswas merupakan hal yang lazim dirasakan oleh negara-negara di dunia bilamana ada perubahan administrasi di Washington DC. Apalagi di negara-negara Asia yang kini bercirikan hadirnya tiga perekonomian yang besar, tujuh dari delapan pasar bebas, dan dari kawasan ini diharapkan akan muncul lebih dari separuh output perekonomian di masa-masa mendatang (Parameswaran, 2017). Tentunya Presiden Trump mempertimbangkan kenyataan ini dan menempatkan peran AS dalam konteks perekonomian dan keamanan Asia.

Yang tampaknya ingin dipastikan adalah upaya pelestarian serta bentuk komitmen AS di masa pasca-Perang Dingin terhadap dinamika di kebangkitan Asia. Hal ini tampak di masa Presiden Obama yang telah mengupayakan sebuah koreksi dalam bentuk kebijakan menyeimbangkan (rebalance) untuk memadukan bangkitnya Asia dengan kebijakan luar negeri AS.

Kini menjadi pertanyaan besar, apakah kebijakan Asia First akan tersisih oleh langkah baru Presiden Trump, yakni menempatkan kepentingan AS di atas yang lain, America First.

Deglobalisasi

Memang berpalingnya AS pada kepentingan bangsanya atau nativismadalah bagian dari deglobalisasi yang mewarnai dunia, yang tampaknya menjiwai kebijakan Presiden Trump. Ada kecenderungan politik transaksi sempit (narrow transactionalism) yang menjadi ciri langkah America First Presiden Trump pada masa pemerintahannya. Banyak kalangan mengkhawatirkan kunjungan Presiden Trump menandakan berakhirnya kebijakan luar negeri Asia First.

Langkah-langkah Presiden Trump diamati karena mengandung unsur positif dan negatif. Ia telah berupaya untuk tetap berhubungan dengan mitra-mitra negara Asia dan mengumumkan sejak dini akan berkunjung ke Asia. Kemudian muncul kekhawatiran bahwa Presiden Trump mengundurkan diri dari komitmen ke berbagai perjanjian perdagangan bebas. Yang dinantikan adalah upaya penamaan kembali (rebranding) dari kebijakan menyeimbangkan (rebalance)..

Jika dalam kunjungannya ke Asia Presiden Trump akan mengartikulasikan secara garis besar visi administrasinya di kawasan ini, negara-negara Asia akan menjadi lebih merasa yakin akan niat Pemerintah AS.

Arus deglobalisasi menyulitkan rekonsiliasi antara tatanan berdasarkan aturan (rules-based order), yang lebih berdasarkan konsep interdependensi tentang bagaimana seharusnya bangsa-bangsa Asia berinteraksi di antara mereka sendiri dan dengan dunia, dan kecenderungan America First yang lebih mendasarkan diri pada visi independen (independent).

Sistem San Francisco

Hegemoni AS di kawasan Asia Pasifik sejak Perang Dunia II bersifat multidimensi dan dikenal dengan istilah The San Francisco System. Ada fitur-fitur institusional yang harus di jelaskan: sebuah jaringan padat aliansi-aliansi keamanan formal antara AS dan negeri-negeri kunci di kawasan Pasifik, jaringan hub-and-spoke dari ikatan-ikatan bilateral mulai dari Washington.

Beda dengan Pakta Keamanan Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat (ANZUS), Sistem San Francisco tidak menciptakan struktur keamanan multilateral, bersifat asimetris dalam dimensi ekonomi dan keamanan, memberikan perlindungan militer dan akses pasar kepada negeri-negeri tersebut, dan tidak mewajibkan pertahanan kolektif.

Sejak 1993, multilateralism mulai mengubah perjanjian-perjanjian bilateral berdasarkan hub-and-spoke,misalnya Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) masuk juga dalam dimensi keamanan, bank-bank pembangunan multilateral menjadi lebih aktif. Dalam kasus ASEANPlus Three, masalah-masalah perbatasan dan politik domestik yang kompleks menimbulkan pertanyaan apakah ASEANPlus Three akhirnya bisa mengakhiri elemen keamanan dari Sistem San Fransisco.

AS sendiri berevolusi dari peranan reaktif, pasif, dan akhir-akhir ini menjadi pemain yang mengupayakan penentuan agenda dalam kerangka-kerangka yang berkenaan dengan soal keamanan kawasan. Dukungan AS terhadap proses multilateral meningkat, tetapi visi strategisnya tetap bersifat reaktif.

Soal penggentaran serius (deterrence) tetap ditangani secara bilateral yang telah mapan. Namun, soal-soal perbatasan yang belum tertata menjadi tanggung jawab aliansi-aliansi bilateral dan hal ini membuat kawasan Asia Timur menjadi dikenal sebagai puncak segala krisis (the arc of crisis).

Soal meningkatnya kebutuhan China akan sumber daya dan energi menciptakan tantangan ekologi dan prospek ketidakstabilan dalam hubungan-hubungan Trans-Pasifikyang membutuhkan kemampuan untuk menegosiasikan hal-hal strategis baru.

Redefinisi dan penamaan kembali

Presiden Obama telah meredefinisikan pandangan AS tentang dunia dan menyambungkan kembali AS dengan konteks baru di abad ke-21. Yakni membangun sebuah tatanan global bersifat multilateral dengan AS tetap berada di pucuk pimpinan dalam soal yang menyangkut kekuasaan keras (hard power), tetapi berbagi lebih banyak tanggung jawab dan membebani yang lain apabila mungkin dan dibutuhkan.

Tahun 2011 adalah tahun transisi atau apa yang diistilahkan dengan the pivot. Presiden Obama percaya bahwa masa depan AS ada di Asia. Hal ini nyata dalam bentuk perjanjian perdagangan bebas The Korea-USFTA (Korus), negosiasi Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).

Pada November 2011, dalam Pertemuan Puncak Asia Timur (EAS) pertama yang dihadiri oleh AS dinyatakan soal kepentingan nasional AS dalam halfreedom of navigation and peaceful resolution of the South China Sea disputes in accord with international law.

Yang dinanti dari kunjungan Presiden Trump adalah pidatonya tentang Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka (free and open Indo-Pacific). Penamaan kembali atau rebranding kebijakan ke negara-negara bisa terkendala oleh pertentangan antara konsepsi AS sebagai penjaga tatanan internasional yang terinterkoneksi dengan pemahaman Trump dalam pidatonya di PBB tentang negara-negara berdaulat yang kuat, strong sovereign state..

Perekonomian predator

Di bidang perekonomian ada perdebatan tentang bentuk kesejahteraan yang dirasakan bersama melalui upaya perdagangan dan investasi dan standar seperti apa yang akan diberlakukan. Tampaknya peran AS akan mengupayakan peningkatan standar ini agar bisa mengatur perekonomian memangsa (predatory economic) seperti yang dilakukan oleh aktor-aktor lain, seperti China.

Masih menjadi tanda tanya besar apakah pesan strategis AS kepada kawasan ini bisa disesuaikan dengan pendekatan transaksional yang sempit yang diberlakukan Presiden Trump di dalam negeri. Penarikan komitmen kepada TPP serta ancaman pada perjanjian perdagangan bebas lainnya, seperti Korus, dan kerasnya suara Pemerintah AS akan defisit perdagangannya telah membentuk persepsi bahwa administrasi Trump memandang perekonomian sebagai cara untuk mengelola tantangan-tantangan dunia agar AS tidak dirugikan, bukan untuk penciptaan kesejahteraan dunia.

Juga hal lain yang berkaitan dengan demokrasi dan hak-hak asasi manusia akan sangat berkaitan dengan tatanan Indo-Pasifik yang berdasarkan hukum. Rasa waswas muncul juga karena kecenderungan Presiden Trump untuk secara selektif memilih negara mana yang dikategorikan sebagai rezim yang ugal-ugalan (rouge regimes).

Suzie S Sudarman