Gejolak domestik di Arab Saudi jadi semakin kentara setelah penangkapan beberapa tokoh penting di kerajaan tersebut dengan alasan indikasi korupsi. Gejolak ini menarik didiskusikan mengingat posisi Arab Saudi yang sedemikian sentral di kawasan Timur Tengah, di dunia Islam, maupun secara global, terutama dalam politik minyak dan gas.

Ada empat faktor yang patut dipertimbangkan menyikapi gejolak tersebut. Pertama, gejolak tersebut hadir ketika situasi ekonomi Arab Saudi sedang terguncang. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai indikator menunjukkan adanya penurunan performa ekonomi Arab Saudi.

Beberapa indikator mengalami penurunan yang kian tajam, seperti pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dari 4,1 persen di 2015 menjadi 1,7 persen di 2016 dan minus 0,5 persen di 2017. Pendapatan per kapita dari kisaran 25.000-an dollar AS di 2012 menjadi 20.000-an dollar AS di 2016. Sebaliknya, beberapa indikator lain menunjukkan tren positif meski masih menunjukkan angka negatif, seperti keseimbangan anggaran (defisit 14,8 persen dari PDB di 2015 menjadi defisit 7,3 persen dari PDB di 2017).

Ekonomi migas

Salah satu sektor yang memiliki kontribusi signifikan pada anggaran dan performa ekonomi secara keseluruhan di Arab Saudi adalah pemasukan dari migas. Untuk memangkas keter- gantungan pada sektor migas, Pemerintah Arab Saudi telah mengeluarkan Visi 2030 yang mengarahkan pada pengembangan ekonomi nonmigas.

Rencana menggeser pilar ekonomi dari sektor migas ke nonmigas sebenarnya bukan barang baru di kawasan Teluk. Beberapa keemiran di kawasan ini telah memulai langkah serupa sejak beberapa dekade lalu. Qatar, misalnya, menjadi salah satu contoh bagaimana liberalisasi ekonomi yang dikelola negara tersebut mampu menjadikan dirinya "Barat di Timur Tengah".

Hal kedua adalah kebutuhan untuk meredefinisi justifikasi kekuasaan yang dibangun oleh kerajaan sejak pembentukannya sebagai sebuah negara modern. Upaya keemiran-keemiran di Teluk untuk melakukan modernisasi ataupun liberalisasi tak akan pernah sama dengan pilihan serupa yang diambil Arab Saudi.

Keemiran-keemiran di Teluk tak membangun legitimasi kekuasaannya dengan menyandarkan diri pada justifikasi religius seperti Arab Saudi. Dalam konteks ini, upaya memunculkan Arab Saudi yang lebih terbuka secara ekonomi dan politik dengan menggunakan istilah moderat, seperti didengungkan putra mahkota beberapa waktu lalu, menjadi masuk akal. Hal ini berpotensi mengganggu relasi antara kerajaan dengan kelompok ulama yang selama ini menjadi pilar kekuasaan Arab Saudi.

Berpijak pada apa yang pernah terjadi di Kerajaan Arab Saudi, kelompok ulama yang menjadi pilar kerajaan, yang selama ini lebih dikenal sebagai Wahabi, telah terbukti mampu untuk berdamai dengan modernitas dengan tetap mempertahankan interpretasi religius yang sering dicap konservatif. Salah satu bukti nyata adalah kemampuan mereka membangun lembaga-lembaga modern, termasuk pendidikan di Arab Saudi dengan memanfaatkan pendapatan migas. Bahkan, mereka mampu menyebarkan interpretasi religius melampaui batas negara modern.

Hanya saja, ada hal berbeda dalam adaptasi di masa lalu dengan konteks terkini. Pertama, isu modernitas yang berkembang saat ini jelas berbeda jika dibandingkan isu modernitas di periode sebelumnya. Kedua, sebagai implikasi, adaptasi di masa lalu tidak benar-benar mengubah pola relasi antara kerajaan dengan ulama, sedangkan saat ini bisa saja muncul redefinisi relasi di antara keduanya.

Hal ketiga adalah situasi regional di Timur Tengah itu sendiri. Meski status Arab Saudi sebagai negara kunci di dunia Arab dan dunia Islam akan sulit digoyahkan, keterlibatan mereka dalam berbagai problem di kawasan akan memengaruhi kapasitas, terutama ekonomi.

Arab Saudi memiliki beban di beberapa arena konflik. Selain di Irak dan Suriah, komitmen Arab Saudi terhadap sengketa internal di Yaman akan menjadi beban. Selain itu, Arab Saudi juga terlibat dalam sengketa dengan Qatar yang tentu akan memperumit kalkulasi politik domestiknya.

Perubahan konstelasi

Terakhir, hal keempat, meski gejolak yang saat ini muncul dibungkus jargon reformasi maupun penegakan hukum, tak bisa dinafikan adanya perubahan konstelasi kekuatan dalam politik Arab Saudi yang muncul sejak era Raja Salman. Beberapa analis telah lama memberikan sinyal akan adanya proses akumulasi kekuasaan sejak mangkatnya Raja Abdullah. Proses diawali dengan pergeseran otoritas ekonomi, termasuk migas, yang kemudian berlanjut dengan pergeseran otoritas keamanan yang ditandai pergantian putra mahkota.

Pergeseran itu menjadi sumber dari gejolak yang berkembang saat ini. Secara tradisional, Arab Saudi membangun mekanisme kepemimpinan secara lambat. Calon raja biasanya menjalani proses inisiasi yang panjang dalam posisi kunci tertentu. Pola ini membuat akumulasi kekuasaan calon raja berlangsung pelan dan tanpa banyak gejolak.

Model munculnya pendatang baru yang melesat dengan cepat, seperti yang terjadi pada putra mahkota saat ini tidaklah lazim. Model regenerasi baru ini yang dipercaya menjadi sumber gejolak yang saat ini berlangsung.

Tiga dampak

Dengan mempertimbangkan empat faktor tersebut, ada tiga dampak yang patut disikapi ke depannya. Pertama, seberapa lama dan sejauh mana guncangan akibat gejolak ini akan berlangsung. Kekuatan politik putra mahkota yang cenderung semakin mapan pascapergeseran kekuatan ekonomi dan keamanan juga didukung oleh sikap permisif negara-negara aliansi utama Arab Saudi. Kemampuan putra mahkota membangun aliansi dengan pemerintahan Donald Trump ditandai dengan keberhasilannya melakukan pendekatan personal dengan menantu Trump yang secara diam-diam berkunjung ke Arab Saudi.

Selain AS, reaksi negara-negara kawasan juga akan menentukan guncangan tersebut. Dalam titik ini, sikap Iran akan menentukan perkembangan ke depannya. Resistensi terhadap perubahan sikap politik Arab Saudi akan terlihat salah satunya dalam front Qatar. Sengketa antara Arab Saudi dengan Qatar akan memperlihatkan kapasitas regional putra mahkota. Apalagi, pilihan ke depan yang diambil Arab Saudi memperlihatkan niatan untuk mengimbangi peran yang selama ini diambil Qatar.

Dampak ketiga yang juga membawa dampak pada Indonesia adalah perkembangan apa yang sering disebut "Wahabi internasional". Redefinisi relasi kerajaan dengan kelompok ulama akan membawa dampak pada perkembangan kelompok yang kedua secara internasional. Seperti apa adaptasi yang akan dibangun kelompok-kelompok ini di berbagai negara, termasuk di Indonesia, akan turut dipengaruhi gejolak yang saat ini terjadi.

Semua proses adaptasi akan menghasilkan riak-riak. Apa pun hasil dari gejolak di Arab Saudi ini tidak akan mengubah posisinya sebagai kekuatan utama di Timur Tengah, di dunia Islam, dan dalam pergaulan global.