Tak ada masa yang begitu memprihatinkan dibandingkan situasi guru zaman sekarang. Banyak citra buruk telah mencoreng profesi guru, seperti perilaku kekerasan yang viral di media, tindak ketidakjujuran, inkompetensi profesional dan pedagogis, serta kesejahteraan hidup para guru. Mengembalikan martabat guru semestinya jadi prioritas kebijakan pendidikan.

Citra guru buruk bukan semata-mata terjadi karena kelemahan internal dalam diri guru. Guru zaman now menghadapi persoalan kompleks yang berasal dari dalam dan dari luar.

Dua tantangan

Persoalan yang berasal dari dalam adalah tantangan profesionalisme guru. Kata kunci di sini adalah integritas pendidik. Bagaimana guru sendiri mencerminkan bahwa profesinya adalah sebuah panggilan hidup yang bermartabat? Marak dan viralnya kasus kekerasan oleh guru yang terjadi di lingkungan sekolah maupun di luar kompleks sekolah, banalitas ketidakjujuran dalam melaksanakan kinerja profesionalnya, hanyalah beberapa fakta yang dapat kita sebutkan.

Yang dari luar adalah tuntutan negara, masyarakat, dan kemajuan zaman. Tuntutan negara mengambil bentuk dalam pelbagai macam peraturan yang memasung kreativitas guru. Tuntutan masyarakat bisa berupa harapan, cita-cita, dan keinginan orangtua akan kehadiran guru yang sungguh dapat menjadi mitra bagi pembentukan karakter anak-anak mereka. Sementara tuntutan kemajuan lingkungan sosial dan budaya sebuah masyarakat tecermin dari semakin canggihnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, yang dengan sendirinya tentu saja menuntut guru untuk selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilannya agar tidak tersingkir dari cepatnya kemajuan zaman.

Pasungan regulasi dan supervisi yang mengobyekkan guru sebagai obyek evaluasi dan penilaian melalui sistem penyeliaan yang sistematis, teknis, dan mekanis meredusir pekerjaan guru pada kegiatan administratif. Kinerja guru menjadi semacam kegiatan proses produksi ala pabrik yang harus dikontrol standar kualitasnya oleh pihak luar. Tuntutan pekerjaan administratif yang harus dilakukan oleh guru begitu banyaknya sehingga guru tidak memiliki waktu lagi untuk mengembangkan dirinya secara profesional, atau bahkan untuk fokus pada pekerjaan utamanya, yaitu mendidik dan mengajar siswa.

Tuntutan dan harapan masyarakat tidak dapat diabaikan oleh guru. Adanya tuntutan yang tinggi dari masyarakat terhadap kinerja seorang guru sesungguhnya menunjukkan bahwa profesi ini masih dianggap sebagai profesi yang bermartabat dan mulia. Alhasil, adanya kekerasan yang dilakukan oleh guru akan melukai hati masyarakat, terutama orangtua.

Orangtua mengharapkan bahwa guru bisa hadir bagi anak-anak mereka sebagai pengganti diri mereka yang tidak bisa selalu bersama anak dalam proses pendidikan. Orangtua masih banyak menaruh kepercayaannya pada pekerjaan guru untuk mendidik dan membentuk karakter anak-anak mereka.

Kemajuan teknologi yang begitu cepat menuntut guru untuk selalu mau belajar dan memperbarui pengetahuan dan keterampilannya agar ia dapat mengikuti derap dan dinamika kehidupan peserta didik. Peserta didik yang merupakan generasi milenial ini sejak kecil sudah merasakan bahwa peralatan teknologi telah menjadi bagian dari hidupnya, bukan lagi sekadar alat untuk komunikasi.

Sayangnya, para guru kita masih cenderung untuk mengagungkan apa yang ia rasakan sebagai hal yang baik di masa lampau. Sebagian besar para guru belum atau bahkan tidak berani keluar dari zona nyamannya untuk mencari jalan-jalan alternatif dalam mendidik agar apa yang dilakukan di kelas menjadi semakin efektif dan bermakna, bukan hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi peserta didik.

Kemuliaan profesi

Martabat guru memang terbentuk dari kemuliaan profesi guru. Tidak ada profesi yang langsung begitu memperoleh penghargaan dan rasa hormat dari publik dengan begitu cepat selain guru. Ketika seseorang menjadi guru, ia memiliki kekuasaan dan kewenangan yang tidak membedakan pangkat, derajat, dan martabatnya.

Seorang presiden, menteri, jenderal berbintang lima yang paham akan makna martabat guru pasti akan datang ke sekolah ketika seorang guru memanggilnya, tidak peduli apakah itu guru novis yang baru lulus kemarin sore, atau guru senior yang telah mengajar puluhan tahun. Untuk berjumpa langsung dan dapat berbicara dengan seorang menteri, profesi lain membutuhkan waktu bertahun-tahun. Hal ini tidak berlaku bagi seorang guru. Begitu ia menyandang profesi sebagai seorang guru, ia memiliki kekuasaan dan kewenangan mendidik yang sangat luar biasa.

Sayangnya, kekuatan kemartabatan profesi guru ini sering kali tidak dipahami oleh guru sebagai modal awal bagi pembentukan profesionalisme dirinya. Bahwa, kekuatan kemartabatan itu selalu harus diikuti dengan belajar dan menimba pengetahuan dan keterampilan secara terus- menerus. Hanya dengan begitu kemartabatan yang telah disematkan masyarakat kepada guru sungguh menjadi bentuk kemartabatan yang dimiliki oleh guru sebagai pribadi.

Langkah memulihkan martabat

Mengembalikan martabat guru tidak bisa hanya dilakukan satu pihak, apakah itu dari guru saja atau dari masyarakat dan negara, melainkan membutuhkan kolaborasi dan kerja sama yang baik antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang menjadi trisentra pendidikan seperti digagas Ki Hajar Dewantara. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh masing-masing pihak agar profesi guru dapat menemukan kembali kemartabatannya sehingga menjadi profesi yang sungguh mulia dan berharga bagi masyarakat.

Pertama, dari sisi guru sendiri, ia perlu memiliki keterbukaan baik dalam hal wawasan dan pemikiran sehingga ia semakin dapat memahami esensi profesionalismenya sebagai sebuah proses pembentukan kemartabatan guru yang akan berlangsung sepanjang hayat.

Setiap guru perlu memiliki sikap untuk senantiasa berani memperbaiki diri, mengevaluasi kekurangan, dan kelemahannya dengan memperkuatnya melalui berbagai macam bentuk kegiatan yang mengembangkan profesionalismenya. Sebutlah seperti mengikuti kegiatan-kegiatan pengembangan, pelatihan, dan pengayaan individu melalui
bacaan dan refleksi rutin. Kekuasaan dan otoritas yang dimiliki oleh guru bukanlah berasal dari diri individu pribadi guru, melainkan karena status profesionalnya sebagai guru. Karena itu, guru perlu terus-menerus mengintegrasikan status profesionalnya ini dengan pembentukan diri secara terus-menerus.

Kedua, dari sisi kebijakan dan regulasi, pemerintah perlu memangkas berbagai macam regulasi dan birokrasi yang membatasi kreasi dan inovasi guru dengan membuat kebijakan yang lebih dinamis, ramah, dan membantu pengembangan profesional guru secara natural. Berbagai peraturan rumit, seperti akreditasi, sertifikasi, uji kompetensi guru, dan pekerjaan-pekerjaan administratif guru perlu ditinjau dan ditata ulang. Dengan demikian, hanya aturan yang fundamental yang membantu pembentukan kemartabatan guru sajalah yang dituntutkan oleh pemerintah terhadap guru.

Ketiga, melawan zaman kita tidak bisa. Yang bisa dilakukan guru adalah mengintegrasikan kemajuan zaman itu dalam reksa profesionalnya sebagai pendidik sehingga ia tidak tergerus oleh kemajuan zaman dan semakin ditinggalkan oleh para muridnya. Guru perlu menanggapi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai tantangan bagi pengukuhan kemartabatan profesinya sebagai pendidik. Di zaman yang semuanya serba teknologi seperti sekarang, martabat profesi guru akan semakin kuat karena hanya gurulah satu-satunya profesi yang sangat efektif membentuk karakter melalui perjumpaan-perjumpaan yang unik, khas, dan menginspirasi yang tidak bisa dilakukan oleh perangkat teknologi.

Mengembalikan martabat guru menjadi langkah awal untuk menumbuhkan rasa percaya diri guru sebagai pendidik bangsa, merealisasikan harapan masyarakat dalam merealisasikan harapan dalam diri putra-putrinya di masa depan. Masalahnya, sanggupkah guru mulai dari dirinya sendiri untuk mengembalikan martabat profesinya?