Harian Kompas edisi 28 Oktober 2017 menghadirkan suatu kejutan tersendiri. Wajah surat kabar yang dikenal sebagai serious newspaper penuh coretan dan pulasan warna yang tidak biasa. Rupanya itulah kolaborasi redaksi Kompas dengan sejumlah desainer muda dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda tersebut.

 Perubahan wajah Kompas hari itu langsung menimbulkan pro dan kontra. Ada yang setuju, memberikan acungan jempol, tetapi tak sedikit juga yang sinis, mempertanyakan kebijakan di luar kebiasaan itu, sambil juga menyebut sejumlah tulisan jadi sulit terbaca dengan adanya perombakan perwajahan tersebut.

 Inovasi atau terobosan selalu menimbulkan pro dan kontra: suka dan tidak suka. Demikianlah kisah inovasi dari masa ke masa. Tak ketinggalan inovasi yang menyangkut industri media. KoranNew York Times sekitar 1900-an masih hanya berisikan tulisan- tulisan tanpa adanya gambar ataupun foto (karena teknologi foto belum ditemukan saat itu).

 Saat Joseph Pulitzer mengembangkan The World, ia dikenal yang mulai memperkenalkan koran populer yang menggunakan ilustrasi gambar, teka teki silang, dan lain-lain pada akhir abad ke-19. Saat memberitakan tenggelamnya kapal Titanic pada edisi 16 April 1912, New York Times sudah menampilkan foto besar kapal yang baru diresmikan lengkap dengan daftar para korbannya.

Disrupsi dalam industri media

 Tentu saja inovasi butuh waktu untuk bisa diterima luas dan orang akhirnya menyadari bahwa perubahan dalam industri media adalah keniscayaan. Akan tetapi, perubahan seperti apa dan bagaimana perubahan diperkenalkan serta diterima, itu adalah cerita yang tidak pendek. Namun, inovasi inilah salah satu cara menghadapi disrupsi (gangguan) dalam industri media belakangan ini.

 Sudah ada banyak pihak yang memperkenalkan nama Clayton M Christensen, profesor administrasi bisnis dari Universitas Harvard, AS, yang menulis buku terkenal, The Innovator's Dilemma: When Technologies Cause Great Firms to Fail(1997). Aplikasi dari konsep teori disrupsinya telah coba dikembangkan dalam berbagai sektor bisnis.

 Disrupsi adalah gangguan yang mengakibatkan industri tak berjalan seperti biasa karena ada kemunculan kompetitor baru, umumnya karena adanya penemuan teknologi baru, yang mengakibatkan pemain bisnis lama harus memikirkan ulang strategi berhadapan dengan era baru ini. Ada yang berhasil mengatasi situasi disrupsi ini, tetapi banyak yang gagal. Dengan penemuan internet, hampir semua industri saat ini harus bertarung dengan apa yang diistilahkan Rhenald Kasali sebagai "musuh-musuh yang tidak kelihatan".

Prof Christensen pernah diminta oleh program Nieman (sesama program yang ada di lingkungan Harvard) untuk membuat analisis terkait industri media yang sedang berubah ini. Majalah Nieman Reports mengangkat laporan utama dari hasil wawancara dengan Christensen yang dilakukan oleh wartawan David Skok, seorang Nieman fellow yang juga adalah wartawan dari Globalnews.ca asal Kanada. Majalah Nieman Reportsyang memuat laporan ini adalah edisi Musim Gugur (Fall) 2012, dengan judul besar "Be The Disruptor".

 Dalam penjelasannya, Christensen mengatakan bahwa ada pola yang berulang, di mana seorang pemain baru dalam suatu industri memulai langkahnya dengan cara yang mudah, murah, sehingga ia dilihat sebelah mata oleh para pemain lama dalam industri tersebut. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pemain baru tersebut perlahan-lahan terus memperbaiki dirinya untuk akhirnya menjadi pemain utama dalam bisnis tersebut.

Dalam industri media ada contoh yang bisa diperhatikan, yaitu kehadiran The Huffington Post, dan BuzzFeed, yang awalnya disebut sebagai "hanya" news aggregator, tetapi lama-kelamaan menghasilkan konten sendiri yang mulai banyak dilirik oleh para pembaca media sejagat.

 Dalam analisisnya, Christensen menyebutkan tiga faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam kondisi media saat ini. Pertama, selalu mengenai dan memikirkan kepentingan audiens. Kedua, memahami disrupsi apa yang terjadi dalam industri media dan bagaimana mengatasi masalah ini. Ketiga, bagaimana peran dari budaya dan kapasitas yang dimiliki organisasi (media) dan bagaimana mengelolanya.

  Di samping bisa soal tiga faktor penting tadi, Christensen juga mengatakan tiga hal soal kapasitas dari industri media yang perlu dievaluasi, yaitu yang menyangkut sumber daya di dalam industri ini; lalu juga terkait pola interaksi yang dilakukan organisasi media tersebut untuk menuju pada suatu efisiensi; dan terakhir menyangkut bagaimana organisasi media memilih prioritas tindakan tertentu di atas tindakan yang lainnya.

Inovasi dan bereksperimen

 Jika menggunakan pola pikir CA van Peursen untuk melihat strategi kebudayaan, ia memilah antara cara pandang mitis, cara pandang ontologis, dan cara pandang fungsional. Kita yang masih takut dan meratapi kondisi media digital yang menggerogoti media arus utama mungkin dapat dikatakan masih menggunakan cara pandang mitis. Untuk bergerak maju kita perlu melihat fenomena media digital ini secara ontologis, dengan memeriksa A-Z-nya industri media digital dan melihat di mana peluang bisa diraih serta transformasi bisa dilakukan.

Setelah hal ini dilakukan, cara pandang fungsional akhirnya akan membuahkan suatu strategi tersendiri untuk menghadapi disrupsi dalam industri media ini. Kuncinya kita terus belajar, berinovasi, bereksperimen secara terkontrol untuk menyeimbangkan kondisi baru.

 Ketersediaan informasi yang secara instan dihasilkan pelbagai organisasi media telah mempercepat audiens untuk memahami peristiwa dari sisi 4W (who, what, when, where). Semua media banyak berurusan dengan 4W ini. Apa yang belum banyak disediakan oleh media saat ini adalah soal H (how) dan W (why) serta "apa makna peristiwa itu bagi publik". Mengutip Jim Moroney, CEO dan penerbit The Dallas Morning News, Christensten menyebut yang dibutuhkan hari ini dari perusahaan media adalah perspective, interpretation, context, and analysis (PICA).

Christensten mengambil contoh bagaimana transformasi yang dilakukan oleh majalah Forbes, dan laman dari majalah ini pun diubah untuk mengikuti tantangan zaman. Editor Forbes tetap mengelola para reporter, tetapi di luar itu editor juga mengurasi tulisan dari para pakar, kontributor, jurnalis freelance, akademisi, ahli dalam bidang tertentu, pimpinan bisnis yang terkait dengan topik bahasan tertentu. Forbes mengelola tak kurang dari 1.000 kontributor dan subyek yang diangkat Forbes pun menghasilkan pembicaraan atau diskusi yang menarik, dan hal ini membawa perkembangan bagus bagi traffic di laman Forbes.

  Dalam situasi seperti saat ini sebenarnya sejumlah eksperimen bisa dilakukan dan inilah masa untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa dilakukan. Inovasi yang coba dilakukan Kompas pada 28 Oktober lalu adalah salah satu contoh bagaimana inovasi dilakukan, kolaborasi dipertimbangkan. Tentu saja selalu ada yang setuju dan tidak setuju. Meski begitu, membuka diri untuk inovasi, kolaborasi, adalah cara untuk bertahan dan terus berkembang pada hari ini.

Ignatius Haryanto