Untuk Oktober, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkirakan penerimaan pajak  tumbuh 25 persen. Jika ditotal dengan realisasi penerimaan pajak per September 2017, realisasinya Rp 876,58 triliun atau 68,29 persen dari target APBN-P 2017.

Jika ditelisik secara detail, ada enam sektor usaha yang menjadi sumber utama pendapatan pajak yang mencatatkan pertumbuhan baik dibandingkan dengan tahun lalu. Penerimaan pajak sektor industri tumbuh 16,63 persen, perdagangan 18,74 persen, keuangan 9,08 persen, pertambangan 30,16 persen, komunikasi 4,62 persen, konstruksi 2,46 persen, dan sektor lainnya 10,70 persen.

Pertumbuhan penerimaan pajak di enam sektor utama tersebut cukup menggembirakan. Sampai kini pajak memang masih jadi sumber utama penerimaan negara. Namun, penerimaan pajak yang selalu di bawah target APBN akan menimbulkan keprihatinan di tengah upaya pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur.

Bagaimanapun, penerimaan pajak yang rendah  akan memengaruhi kemampuan pendanaan infrastruktur dari APBN yang jumlahnya justru meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, upaya DJP menggenjot target penerimaan pajak boleh jadi sebenarnya sudah terlambat. Pasalnya, waktu dua bulan lagi cukup berat bagi aparat pajak untuk menutup kekurangan penerimaan pajak sebesar 31,71 persen.

Dengan kata lain, DJP sudah kehilangan momentum untuk menggenjot penerimaan pajak. Selain karena tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) yang belum meningkat, rendahnya penerimaan pajak juga dipengaruhi kondisi ekonomi Indonesia yang tumbuh stagnan. Bagaimanapun, pelambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga berkontribusi besar terhadap stagnasi pertumbuhan nasional. Karena itu, pemerintah juga harus mendorong daya beli masyarakat dengan sejumlah insentif fiskal.

Sementara itu, stimulus moneter dari bank sentral dinilai sudah cukup progresif. Bank Indonesia (BI) mematok suku bunga acuan di posisi 4,25 persen. Lebih dari itu, banyak sektor industri saat ini juga sangat membutuhkan insentif fiskal, terutama industri padat karya. Pemerintah mesti mempertimbangkan penurunan tarif pajak kepada sektor industri untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, misalnya.

Karena pertumbuhan sektor industri yang di bawah pertumbuhan PDB nasional perlu didorong agar mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi, sulit bagi  DJP meningkatkan penerimaan pajak badan. Mau tak mau, strategi yang perlu dikedepankan adalah mengejar pajak perseorangan, misalnya  para selebritas yang pendapatannya besar. Lainnya seperti potensi pajak dari para selebritas Instagram (selebgram). Mereka mendapat bayaran mahal dari setiap postingan di akun Instagram.

Mesti lebih arif dan bijak

Di sisi lain, masalah juga muncul di kalangan pelaku usaha. Saat ini mereka waswas karena merasa dikejar-kejar petugas pajak. Alasan petugas pajak sederhana, yakni setoran pajak masih di bawah target pada sisa dua bulan ke depan. Penelusuran para petugas pajak kepada pelaku usaha mulai dari hal-hal teknis hingga melihat data perusahaan untuk mencari potensi pajak.

Saya kira, pemerintah harus lebih arif dalam melihat semua persoalan yang dihadapi dunia usaha. Jangan hanya karena ingin mengejar target pajak, wajib pajak yang sudah patuh membayar pajak malah khawatir akan dicari-cari kesalahannya. Pemerintah sebaiknya juga jangan mengeluarkan peraturan yang justru menjadi kontraproduktif bagi dunia usaha.

Kita berharap pemerintah dapat menyikapi persoalan yang dihadapi dunia usaha dengan bijak. Target penerimaan pajak memang harus dikejar, tetapi mengejar-mengejar perolehan pajak dari pelaku usaha yang sudah patuh juga patut dihindari karena akan melahirkan iklim kurang produktif untuk perkembangan dunia usaha ke depan.

Secara umum, pemerintah memang perlu melakukan upaya ekstra. Namun, masalah lainnya, untuk menggenjot pajak melalui upaya ekstra, pemerintah  dihadapkan pada kelesuan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen dalam tiga tahun terakhir seolah jadi bukti yang valid  bahwa usaha meningkatkan penerimaan pajak terbentur kondisi makro. Lalu, jika pemerintah mengandalkan penerimaan rutin secara alamiah, faktanya penerimaan pajak hanya tumbuh  sekitar 10 persen. Bahkan, jika ditelaah secara sektoral sekalipun,  kesimpulannya juga sama, sangat sulit.

Sebut saja, misalnya, sumber  penerimaan pajak terbesar dari sektor manufaktur. Masalahnya sektor ini sedang melambat. Sekalipun mengalami kenaikan kontribusi pada penerimaan negara, tapi sektor manufaktur hanya tumbuh 3,54 persen pada kuartal II-2017, lebih lambat daripada kuartal sebelumnya, 4,24 persen. Dengan kata lain, akan sangat sulit menggenjot penerimaan lagi dari sektor ini.

Berangkat dari kenyataan tersebut, jika memang harus bertahan dengan target penerimaan yang telah ditetapkan,  DJP dituntut lebih kreatif dalam mencari sumber lain guna mengejar target penerimaan pajak. Sektor yang tengah dibidik saat ini adalah perdagangan dan jasa modern, misalnya,  khususnya bisnis elektronik atau e-commerce. Konon aturan pajak e-commerce sudah disiapkan dan akan dikeluarkan dalam waktu dekat. Namun,  pemerintah harus tetap hati-hati jangan sampai ekosistem ekonomi digital kita justru rusak. Sebab, secara fundamental, sektor ekonomi digital juga sama dengan sektor lain, justru sedang membutuhkan keberpihakan fiskal agar bisa bertumbuh dan memapankan ekosistemnya sendiri.

Ronny P Sasmita