Negara harus hadir dengan mengintensifkan pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara berkesinambungan untuk menekan angka kecelakan kerja.

Merujuk data dari BPJS Ketenagakerjaan, jumlah kecelakaan kerja yang dilaporkan setiap tahun sangat mengkhawatirkan. Sepanjang 2015 terjadi 105.182 kasus kecelakaan kerja dengan korban meninggal 2.375 orang. Kondisi ini kurang lebih sama di tahun 2016, di mana sampai akhir November ada 101.367 kasus dengan korban meninggal sebanyak 2.382 orang.

Angka di atas tidaklah mencerminkan kondisi sesungguhnya, sebab tidak semua perusahaan ikut program BPJS, di mana per November 2016 baru 359.724 perusahaan terdaftar di BPJS. Atau jika sudah terdaftar, tidak semua tenaga kerjanya didaftarkan ke BPJS.  

 Dalam perkembangan perdagangan global sekarang, kasus kecelakaan kerja tidak hanya melulu dipandang dalam perspektif statistik belaka. Pemerintah dan perusahaan perlu mencermati ada perkembangan baru di mana K3 sudah jadi persyaratan baru oleh negara atau pengimpor barang kita di luar negeri.

Berdasarkan pengamatan penulis, beberapa pembeli besar pakaian dan sepatu kelas dunia justru terlebih dahulu mengaudit kepatuhan sistem manajemen K3 calon pemasok sebelum membuat pesanan. Agar perusahaan manufaktur kita bisa berkompetisi di tingkat global, ke depan jangan hanya memperhatikan harga, pengiriman, dan mutu yang kompetitif, juga mulai berpikir soal sistem manajemen K3 serta standar lainnya.  Kesimpulannya, sistem manajemen K3 yang baik kini tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Tak seimbang

Di Indonesia, berdasarkan peraturan, akuntabilitas pengawasan ketenagakerjaan hanya boleh dilaksanakan oleh pegawai negeri sipil (PNS) pengawas ketenagakerjaan. Mereka berkedudukan di pusat, pada Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 pada Kementerian Tenaga Kerja, serta pada dinas tenaga kerja di provinsi dan kabupaten/kota.

Pengawasan oleh pegawai ini tidak hanya mencakup K3, tetapi semua aspek ketenagakerjaan. Mulai dari hubungan industrial, upah, kondisi kerja, serta permasalahan yang terkait ketenagakerjaan, dan jaminan sosial.

 ILO sebagai badan PBB yang bergerak di bidang ketenagakerjaan memberikan 11 pedoman kunci pengawasan ketenagakerjaan yang efektif di bawah standar-standar global. Ke-11 faktor itu antara lain mencakup kelembagaan yang kuat dan independen, cakupan pengawasan, kualifikasi dan jumlah pegawai pengawas yang memadai, frekuensi pengawasan hingga membuat kolaborasi untuk memastikan efektivitas pelaksanaan.  

 Dari pengamatan penulis, faktor terbesar ketakefektifan pengawasan K3 karena jumlah pegawai pengawas tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang akan diawasi.  Data dari Badan Pusat Statistik (Sensus Ekonomi Tahun 2016), ada 26,26 juta usaha menengah kecil (UMK) dan 450.000 perusahaan berskala usaha menengah besar (UMB). Sementara data dari Kemnaker, akhir 2016, hanya ada 1.923 pengawas ketenagakerjaan di seluruh Indonesia. 

 Jika kita fokus pada UMB terlebih dahulu, rasio jumlah pengawas dengan jumlah UMB sekitar 1:234. Dengan geografi Indonesia yang luas serta berpulau-pulau dan situasi perusahaan yang diawasi (skala, jenis, peralatan, dan jumlah pekerja yang dipekerjakan), berikut kompleksitas jumlah peraturan perundangan yang harus ditegakkan, selama 2016 mereka hanya sanggup mengawasi 61.134 perusahaan. Secara kuantitatif ini ekuivalen dengan 13,6 persen UMB di Indonesia, belum lagi kita menelisik kualitas pengawasan itu sendiri.

Pengawas "swasta"

Bagaimana pemecahannya, mengingat penambahan pegawai secara masif dibatasi oleh peraturan dan anggaran negara. Ada baiknya Ditjen Binwasnaker Kemnaker mengikuti model relasi Ditjen Pajak Kemenkeu dengan akuntan publik.

Jika akuntan publik atas nama Menteri Keuangan melakukan audit laporan keuangan perusahaan, seharusnya ada pengawas non-PNS disertifikasi dan diangkat oleh Menaker untuk melakukan pekerjaan sebagaimana PNS pengawas ketenagakerjaan melakukan selama ini.

Secara kelembagaan, dunia tenaga kerja Indonesia mengenal lembaga swasta yang fungsinya mirip dengan kantor akuntan publik di bidang keuangan, disebut perusahaan jasa bidang K3 (PJK3). PJK3 fungsinya untuk membantu perusahaan dalam pemenuhan syarat-syarat K3 sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan kegiatan jasa K3, PJK3 harus terlebih dahulu memperoleh keputusan penunjukan dari Menaker c.q. Dirjen Binwasnaker dan K3. Di tahun 2016, ada 850 PJK3 di seluruh Indonesia. Di PJK3 ini berhimpun "akuntan tersertifikasi" yang disebut ahli K3.

Kalau pemerintah ingin mereformasi pengawasan K3 agar memenuhi 11 norma global yang ILO tetapkan, PJK3 perlu diberdayakan. Pertama, PJK3 jadi garda terdepan dan bertanggung jawab terhadap tiga fungsi PNS pengawas ketenagakerjaan, yaitu pembinaan, pemeriksaan, dan pengujian. Adapun fungsi penyidikan tindak pidana ketenagakerjaan tetap dipegang oleh pegawai penyidik negeri sipil atau PPNS (per 2016 ada 381 orang di seluruh Indonesia).

Kedua, untuk memvalidasi kualitas pekerjaan PJK3, PNS pengawas ketenagakerjaan berwenang mengaudit secara acak perusahaan yang sudah diawasi PJK3 tersebut. Jika ada masalah fatal ditemukan atau kecelakaan kerja terjadi, maka PJK3 yang mengaudit perusahaan tersebut ikut bertanggung jawab sesuai dengan tingkat kelalaiannya.

Ketiga, seluruh perusahaan berskala UMB diwajibkan diaudit PJK3 secara berkala beberapa kali dalam setahun, biaya kontrak jasa audit ditanggung oleh perusahaan tersebut. Pemerintah tinggal menetapkan standar biaya jasa.

Guna melakukan reformasi diatas, diperlukan beberapa persiapan.  Pertama, mengubah sejumlah peraturan perundangan agar non-PNS bisa bertindak sebagai pengawas ketenagakerjaan.  Kedua, menyertifikasi ulang PJK3 yang ada sekarang beserta ahli K3-nya agar nanti bisa melaksanakan fungsi PNS pengawas ketenagakerjaan.       

 Dengan melakukan reformasi seperti di atas, diharapkan secara singkat kuantitas perusahaan yang diawasi dan kualitas pengawasan ketenagakerjaan dapat ditingkatkan. Dan, pada akhirnya jumlah kasus dan korban kecelakaan kerja dapat ditekan.

Ferly Norman