Sayang, ketika kami mengunjungi Pantai Tanjung Aan pada awal Oktober lalu, semuanya serba tak teratur. Karena itu, kami mengimbau kepada PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) yang mengelola Mandalika untuk segera turun tangan.

Jalan raya yang sedang dibuat menuju Pantai Tanjung Aan, sepatutnya ITDC bekerja menata Pantai Tanjung Aan, seolah sebagai bagian dari hotel bintang lima. Kualitas internasional hendaknya menjadi ciri Mandalika.

Pantai Tanjung Aan membutuhkan tempat parkir, toilet, dan penjaga pantai. Juga saung dan kursi jemur yang bisa disewa pengunjung dengan harga resmi. Terakhir sebaiknya dibuatkan juga kios untuk pedagang kaki lima yang selalu memaksa dan meminta belas kasihan pengunjung untuk membeli barang dagangan mereka.

Syahrizal Putranto, Kompleks Pelni, Depok, Jawa Barat

 

Galau Seorang Guru

Ada pemeo "ganti menteri ganti aturan". Ini sudah biasa sejak zaman Orde Baru. Demikian halnya dengan yang dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang pembentukan karakter siswa melalui program lima hari sekolah telah menimbulkan gejolak. Ia juga menuai pro-kontra tak hanya di kalangan pendidik, juga masyarakat luas. Untunglah Presiden Jokowi cepat tanggap dan mengambil langkah tepat dengan membatalkan permendikbud itu, khususnya untuk pendidikan dasar (SD/SMP).

Sebagai pribadi, saya diuntungkan dengan program lima hari sekolah. Sabtu saya bisa turun ke ladang sehari penuh dengan upah Rp 100.000 per hari. Sebulan saya dapat tambahan Rp 400.000. Namun, selaku pendidik, saya merasa sangat prihatin dan galau terhadap kebijakan ini. Pasalnya, pembentukan karakter siswa, seperti yang diharapkan sang menteri dengan menerapkan lima hari sekolah jauh panggang dari api. Yang terjadi justru sebaliknya, karakter siswa tidak terbentuk.

Pembentukan karakter siswa dilaksanakan dengan contoh konkret, seperti pembiasaan sejak siswa datang sampai pulang. Selama ini di sekolah-sekolah hal itu terutama dilaksanakan pada Sabtu. Dengan lima hari sekolah, pembentukan karakter siswa seperti itu dihilangkan. Di sekolah kami saban Sabtu ada kegiatan gotong royong, jalan sehat bersama, senam, bakti sosial, serta berbagai ekstrakurikuler dan kegiatan positif lainnya.

Pada kegiatan gotong royong, misalnya, semua membaur. Kepala sekolah, guru, dan siswa saling bagi cerita seperti orangtua dengan anak di rumah, tanpa ada sekat. Siswa-siswi yang punya masalah berani curhat kepada bapak guru pada kegiatan positif di hari Sabtu itu. Masalah-masalah yang dihadapi siswa, baik masalah sekolah maupun di luar sekolah, bisa dipecahkan sejak dini.

Dampak negatif dari konsep lima hari sekolah itu antara lain banyak siswa yang kecapaian karena belajar dari pukul 07.00 sampai 16.45. Akan banyak siswa yang bolos pada jam belajar dengan berbagai alasan.

Pada jam akhir akan banyak siswa maupun guru yang kurang fokus karena lelah fisik maupun pikiran. Lagi pula Kurikulum 13 (K13) terlalu gemuk. Dampak negatif lainnya adalah hampir semua kegiatan ekstrakurikuler tidak bisa dilaksanakan.

Usul kepada Pak Menteri: kalau bisa, K13 dirampingkan saja supaya mangkus dan sangkil. Misalnya, tidak perlu ada istilah mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan, mata pelajaran lintas minat dan mata pelajaran peminatan, dan sebagainya.

Sekarang ada mata pelajaran Matematika Wajib dan Matematika Pilihan, Bahasa Inggris Wajib dan Pilihan, dan seterusnya. Padahal, mata pelajaran tersebut beresensi sama. Mengapa tidak digabung saja, seperti pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan? Kalau perlu, jumlah mata pelajaran dikurangi menjadi 10 atau maksimal 14 bidang studi saja, supaya kita bisa mengutamakan kualitas daripada kuantitas.

Jika itu bisa diterapkan, program lima hari sekolah bisa dilaksanakan mulai pukul 07.00 sampai 14.45 untuk Senin sampai Kamis, sementara Jumat hanya sampai pukul 10.45.

Dengan demikian, baik karakter siswa maupun mutu pendidikan di negeri ini secara beriringan bisa ditingkatkan. Terima kasih, Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, jika berkenan baca curhat seorang guru yang bertugas jauh dari Ibu Kota ini.