Dampak bencana sudah muncul di beberapa wilayah. Rabu (22/11) lalu tidak hanya terjadi musibah longsor yang menutup jalur kereta api di Malangbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, tetapi juga rusaknya 661 rumah di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, akibat puting beliung.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, banjir bandang juga melanda 15 desa di empat kecamatan di Lombok Timur sejak Sabtu (18/11) petang. Akibatnya, 367 rumah rusak dan 2 orang meninggal.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menginformasikan, kawasan yang perlu mewaspadai cuaca ekstrem ini adalah Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Demikian pula Kepulauan Nias dan Mentawai yang rawan gelombang tinggi di wilayah perairan barat.

Sebenarnya pergolakan cuaca biasa terjadi saat pergantian musim. Namun, semakin ke sini, pembentukan kumulus—dengan tinggi puncak 1.500-5.000 meter—semakin sering menjadi kumulonimbus dengan ketinggian hingga 18.000 meter. Kumulus turun menjadi hujan, sedangkan kumulonimbus turun menjadi hujan lebat disertai petir dan angin kencang.

Faktor pembentuk kumulonimbus adalah pemanasan matahari. Semakin luas kawasan terbuka, semakin besar pembentukan kumulonimbus. Ironisnya, konsep pembangunan di Indonesia selama ini telah menggundulkan hutan dan mengubah lahan terbuka hijau di perkotaan menjadi lahan beton. Maka, pemanasan menjadi intensif membentuk kumulonimbus.

DKI Jakarta, misalnya, hanya memiliki 2.452 hektar ruang terbuka hijau sepanjang 2016, berarti hanya 3,7 persen dari seluruh wilayah. Angka itu jauh dari 30 persen ruang terbuka hijau seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Dalam konteks yang lebih besar, Indonesia kehilangan 684.000 hektar hutan per tahun akibat pembalakan liar, kebakaran hutan, dan alih fungsi lahan. Menurut Global Forest Resources Assessment, sepanjang 2010-2015, laju kehilangan hutan Indonesia nomor dua dunia.

Dengan demikian, upaya meminimalkan cuaca dan iklim ekstrem sebenarnya bisa dilakukan. Namun, seiring dengan upaya perbaikan lingkungan yang tidak gampang dan perlu waktu panjang, pemerintah wajib melakukan mitigasi bencana untuk meminimalkan dampak.