Selain pengakuan tingginya skor penilaian, pernyataan Mendikbud Muhadjir Effendy tentang guru sebagai pendidik dan bukan pengajar ibarat pernyataan todologis (Kompas, 26/11). Mengulang-ulang. Bagi pemegang profesi yang konon jumlahnya 3,1 juta termasuk dosen pun bagi yang peduli, saat ini persoalan uji kompetensi guru (UKG) jauh lebih membumi dan lebih "nendang" daripada filosofi tentang profesi ideal keguruan. Momentum peringatan Hari Guru Nasional 25 November terlewat begitu saja.
UKG dijalankan berdasarkan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Program sertifikasi sebelum umum disebut UKG dimulai tahun 2007 dan menarik. Tidak saja sebagai bagian dari kebijakan peningkatan mutu, tetapi bagi pemegang profesi ini (yang lulus tes) dijanjikan memperoleh tunjangan profesi guru (TPG).
Sampai Oktober 2017, berarti setelah 10 tahun berjalan, guru yang lulus UKG hampir 2 juta. Masih ada sekitar 650.000 yang belum bersertifikat. Kemdikbud bertekad menyelesaikan program UKG pada akhir tahun 2019.
Menengok selintas beragam masalah muncul, di antaranya UKG menarik sebagai bentuk konkret kepedulian pemerintah. Karena sertifikat merupakan bukti memperoleh tunjangan, beragam jalan pintas dilakukan. Apalagi UKG lebih berupa portofolio. Tidak semua pemegang sertifikat otomatis memperoleh haknya. Peningkatan skor penilaian sejak tahun 2014, 2015, 2016, dan 2017 dari rerata UKG 4,7 poin, 5,5 poin, 6,49 poin, dan tahun ini 80 poin dibangga-banggakan sebagai keberhasilan.
Menangani persoalan guru yang nyaris jadi klasik perlu dilakukan bersama. Penanganan pendidikan dasar dan menengah di tangan pemerintah daerah tidak otomatis membereskan soal pemerataan. Pemanfaatan guru untuk kepentingan politik besar sehingga pengangkatan guru tetap dilakukan pusat. Terjadi beragam fragmentasi yang berdampak negatif praksis pendidikan.
Kondisi di atas mengindikasikan menangani persoalan guru, selain kebersamaan dalam berbagai kementerian terkait, juga keserentakan. Konsep dan metodologi UKG yang ideal dilakukan Kemdikbud, tetapi pelaksanaan harus bersama dan serentak.
Dalam konteks peningkatan mutu masa depan manusia Indonesia, menangani persoalan guru lebih rumit daripada menangani profesi lain. Menunda janji justru memperparah kekecewaan. Berbagai aspek perlu dilihat sebab kekecewaan berdampak pada anak didik yang pada gilirannya mutu masa depan manusia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar