Dari siapa KPK tahu akan terjadi tindak pidana korupsi? Adakah peranwhistleblower (pembuka aib) dalam operasi ini? Adakah mekanisme pelaporan, perlindungan, dan penghargaan terhadap pembuka aib?

Berbagai upaya untuk mencegah dan memerangi korupsi telah diupayakan. Kementerian dan lembaga didorong menggunakan teknologi informasi dalam hal pengadaan barang dan jasa serta pola penganggaran. Misalnya, electronic budgeting, electronic procurement, sertaelectronic catalog. Bahkan, pemerintah telah membentuk tim Sapu Bersih Pungutan Liar atau Saber Pungli.

Sistem pembuka aib

Dalam konteks pencegahan dan pemberantasan korupsi, sejak 2014 melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, pemerintah mendorong whistleblowing system (WBS) di beberapa kementerian dan lembaga. Ini ditindaklanjuti dengan Inpres No 7/2015 dan Inpres No 10/2016. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diberi tanggung jawab untuk mengevaluasi pelaksanaan WBS di kementerian dan lembaga tersebut.

Pada 27 September 2017, bertempat di LPSK, sebanyak 16 dari 17 kementerian dan lembaga menandatangani pedoman kerja sama dengan LPSK dan KPK sekaligus meluncurkan WBS Terintegrasi Antarsistem (Tegas).

Tegas adalah mekanisme elektronik yang memudahkan dan mempercepat laporan kementerian dan lembaga terkait tindak pidana korupsi kepada KPK dan perlindungan bagi saksi atau pelapornya serta saksi pelaku yang bekerja sama dengan LPSK.

Kementerian dan lembaga terkait yang didorong membentuk WBS adalah Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, hanya BPK yang belum menandatangani pedoman kerja sama dengan LPSK dan KPK.

WBS bukanlah barang baru. Pada Oktober 2011, Kementerian Keuangan meluncurkan sistem pembuka aib yang dinamai Wise. Pertamina juga telah memperkenalkannya sejak 2008 dan Garuda Indonesia sejak 2010.

Secara umum, orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malapraktik, mala-administrasi, atau dugaan korupsi, disebut pembuka aib.

Sementara mekanisme penyampaian pengaduan dugaan terjadinya penyimpangan, skandal malapraktik, mala-administrasi yang mengarah korupsi atau penyampaian dugaan korupsi disebutwhistle blowing system (WBS) atau sistem pembuka aib. Sistem pelaporan berbasis teknologi informasi (online) agar mudah mengadu tanpa harus bertatap muka.

WBS dijalankan dengan prinsip kerahasiaan, independen, kepastian, dan perlindungan untuk melindungi identitas pelapor ataupun investigator. Prinsipnya, pelapor di WBS tidak berkewajiban menyampaikan identitas. Independen artinya dikelola secara profesional. Kepastian maksudnya jelas soal tindak lanjut laporan, termasuk jangka waktu yang dibutuhkan terhadap penanganan laporan. Perlindungan pelapor meliputi perlindungan fisik, hukum, dan kepegawaian.

Peran pembuka aib

Di beberapa kasus korupsi, pembuka aib telah menunjukkan perannya mengungkap kejahatan. Misalnya, pada beberapa kasus Pertamina yang kini sudah diputus pengadilan tingkat pertama tidak terlepas dari peran pembuka aib.

Begitu juga kasus pembangunan mes santri di Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur tahun 2013, yang menelan anggaran Rp 14,5 miliar. Kasus terungkap berkat peran pembuka aib.

Operasi tangkap tangan KPK terhadap komisioner KPU pada April 2005 juga berkat kerja sama dengan pembuka aib dari auditor BPK. Sayang, auditor BPK tersebut kemudian menjadi tersangka kasus korupsi dana abadi umat, Desember 2005.

Ancaman

Tahun 2013, mencuat kisah pembuka aib Edward Snowden, mantan staf di Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat. Ia mengungkap pelanggaran intelijen AS atas hak privasi individu dengan memata-matai orang di seluruh dunia. Kini Swoden menjadi orang yang paling dicari oleh AS dan hidup dipengasingan di Moskwa.

Secara umum pembuka aib dapat dikatakan sebagai pelapor. Namun, pelapor belum tentu pembuka aib. Perbedaannya adalah soal pengetahuan atas penyimpangan yang terjadi. Umumnya pembuka aib adalah orang yang bekerja di tempat yang sama dengan pelaku sehingga pengetahuannya terhadap penyimpangan valid.

Sebagai "orang dalam" tentu menimbulkan risiko. Seorang pembuka aib bukannya mendapat gelar pahlawan, sebaliknya malah kerap dikucilkan dan dimusuhi oleh lingkungan kerjanya. Ia juga dinilai sebagai orang yang tidak loyal, membuka aib organisasi dan dilabeli pengkhianat. Pembuka aib akan disingkirkan dengan beragam cara: mutasi, demosi, hingga pemecatan.

Ancaman keselamatan tidak hanya pada jiwanya, tetapi juga keluarganya. Proses hukum yang panjang pun turut berdampak pada kerugian waktu, finansial dan psikis pembuka aib dan keluarganya. Belum lagi apabila ada tuntutan balik atau upaya kriminalisasi terhadapnya.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ataupun perubahannya, UU No 31/2014, telah mengatur pemberian perlindungan kepada pembuka aib oleh LPSK.

Perlindungan dari LPSK meliputi perlindungan fisik, rumah aman, tempat tinggal sementara, relokasi, pengawalan, bahkan perubahan identitas.

Selain itu, perlindungan, juga ada pendampingan pada proses pemeriksaan, penasihat hukum, biaya hidup sementara, dan lain sebagainya. LPSK juga bisa memberikan bantuan medis dan psikologis, termasuk perlindungan hukum untuk tidak dituntut balik, baik secara pidana maupun perdata. Dalam hal terhadap terdapat tuntutan hukum terhadap pembuka aib, tuntutan itu wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan diputus pengadilan.

Pasal 39 UU No 31/2014 mengatur sanksi pidana kepada orang yang menyebabkan saksi atau keluarganya kehilangan pekerjaan, dengan ancaman pidana 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah.

Pembuka aib juga berhak atas piagam penghargaan atau 2 permil dari nilai kerugian negara yang dikembalikan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tantangan

WBS adalah sarana bagi setiap orang yang melihat ada penyimpangan untuk berperan aktif bertindak. Namun, dalam praktiknya, WBS menghadapi tantangan berupa sikap permisif dan memilih diam. Kultur organisasi korup, di mana korupsi sudah merupakan kebiasaan semua, dianggap "tahu sama tahu". Teladan yang rendah dari unsur pimpinan organisasi dalam memerangi korupsi menggenapkan kesulitan yang dihadapi.

Dalam situasi sosial dan organisasi itu di atas, sulit berharap akan lahir pembuka aib. Walau demikian, pembuka aib biasanya berkepribadian kuat yang rela menjadi "korban" demi sesuatu yang ia yakini. Ia punya pilihan untuk melapor dalam mekanisme WBS yang tersedia atau langsung bersekutu dengan penegak hukum yang ia percaya.

Butuh komitmen yang tinggi agar sistem pembuka aib ini tak berakhir sebagai dekorasi.