Tulisan ini khusus menyoroti tantangan pengadaan Bulog 2018 sebagai salah satu penugasan oleh pemerintah yang biasa disebut public service obligation (PSO). Tantangan adalah sesuatu yang berat dan sulit untuk dilaksanakan. Penugasan pengadaan Bulog 2018 akan sulit dilaksanakan karena adanya kendala berat yang cenderung kronis.

Kendala tersebut, pertama, tingkat harga gabah/beras yang tinggi pada musim paceklik (Desember, Januari) disertai tingkat sisa persediaan (carry over stock) yang tipis di masyarakat. Kedua, tingkat harga beli Bulog yang rendah dan belum jelasnya jumlah anggaran PSO untuk operasi Bulog. Ketiga, prospek produksi padi 2018.

Tingkat harga pasar

Harga per kilogram (kg) gabah kering panen (GKP) di daerah Sragen, Ngawi, dan Madiun yang panen awal November ada pada kisaran Rp 4.900-Rp 5.300. Bahkan di Indramayu mencapai Rp 5.500 (Kompas, 15/11), tingkat harga yang tertinggi selama ini. Dengan tingkat harga GKP tersebut, dampaknya gabah tidak cocok diolah menjadi beras kualitas medium karena dibatasi harga eceran tertinggi (HET) Rp 9.450/kg.

Sementara harga beras asalan (glosoran) di tingkat penggilingan saat ini sekitar Rp 8.600/kg dengan kadar air di atas 14 persen dan kadar butir pecah sekitar 30 persen. Apabila harga di tingkat penggilingan tersebut dikonversikan ke kualitas pengadaan sesuai spesifikasi Inpres No 5/2015, yakni kadar air maksimal 14 persen dan butir patah 20 persen, harganya minimal Rp 9.600/kg. Ini mengindikasikan bahwa persediaan beras di masyarakat dalam keadaan tipis. Memang pada bulan November masih ditunjang oleh panen kecil-kecilan di sejumlah tempat, ditambah persediaan yang ada di tangan masyarakat. Namun, pada Desember 2017 dan Januari 2018 akan terjadi masa puncak paceklik.

Pengalaman akhir 2014 yang kondisi pasar mirip 2017, untuk menunjang persediaan masyarakat, alokasi beras untuk masyarakat miskin (raskin) ditambah dua bulan atau sekitar 600.000 ton. Apabila keadaan ini jadi acuan, untuk akhir 2017 diperlukan tambahan pasokan ke masyarakat sekitar 600.000 ton. Selain itu, juga masih perlu diantisipasi puncak paceklik pada Januari dan awal Februari 2018 yang masih memerlukan operasi pasar (OP) kira-kira 400.000 ton untuk mengganti raskin yang sekarang diberikan dalam bentuk kupon. Perkiraan jumlah operasi pasar merupakan hal tersulit sejak Bulog berdiri, tetapi sebaiknya disiapkan programnya daripada nanti kebobolan karena banyak faktor yang memengaruhi.

Kemudian sistem pengendalian harga beras 2014 dan 2017 sebenarnya mirip, tetapi saat ini cara intervensinya berbeda dari yang lalu. Dulu pemerintah secara aktif menambah persediaan melalui alokasi raskin, tetapi sekarang melalui OP atas dasar permintaan pedagang. Kita tahu intervensi melalui pedagang efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan melalui rumah tangga langsung karena pedagang merupakan "pemain" yang akan berhitung untung rugi. Oleh karena itu, mekanisme OP yang sekarang berlaku disarankan perlu ditambah OP targeted group, yakni operasi pasar bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui kelurahan. Pembelinya cukup menunjukkan KTP seperti yang pernah dilakukan di Yogyakarta.

Keberhasilan intervensi pasar akhir 2017 dan awal 2018 akan sangat memengaruhi tingkat harga yang terjadi pada panen yang akan datang. Untuk itu, diperlukan OP sekitar 1 juta ton untuk dapat menekan harga agar mendekati HET yang ditetapkan pemerintah. Untuk efektivitas penekanan harga sebaiknya menggunakan jenis beras yang memiliki kadar patahan di bawah 20 persen. Pengalaman operasi pasar 1973-1983, untuk meredam gejolak harga beras kelas lebih rendah perlu gunakan jenis beras dari kelas di atasnya.

Tingkat HPP Bulog

Kendala kedua adalah tingkat harga pembelian pemerintah (HPP) Bulog. Hal inilah yang menentukan keberhasilan pengadaan beras. Jika menggunakan patokan harga sesuai Inpres No 5/2015, yakni Rp 3.700/kg GKP, diperkirakan akan sulit untuk dapat memupuk persediaan beras karena sekarang saja harga pasar jauh di atasnya. Jika dinaikkan 10 persen seperti pada tahun 2017, diperkirakan masih akan sulit dilakukan pengadaan. Karena itu, disarankan agar dinaikkan lagi 10 persen jadi Rp 4.500/kg untuk GKP, baru diperkirakan pengadaan akan mulai jalan.

Namun, ada konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah. Sesuai kebiasaan, konsekuensi selisih harga pembelian Bulog dikurangi harga inpres ditanggung oleh PSO Kementerian Pertanian. Selain itu, selisih harga pokok Bulog dikurangi harga penjualan untuk OP ditanggung oleh PSO dari Kementerian Perdagangan.

Sementara untuk melayani sisa penyaluran raskin untuk 5 juta rumah tangga sasaran (RTS) akan ditanggung PSO Kementerian Sosial. Adapun yang menentukan pengadaan nanti adalah besarnya anggaran cadangan beras pemerintah (CBP). Untuk anggaran CBP sekarang ini dialokasikan oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp 3 triliun atau setara sekitar 300.000 ton, yang hanya cukup untuk persediaan "tiga hari" kebutuhan konsumsi yang besarnya sekitar 3 juta ton sebulan. Berbagai studi menyimpulkan, perlu CBP 1 juta-3 juta ton atau untuk keperluan konsumsi 10-30 hari. Untuk diketahui, cadangan BBM minimal yang dipunyai Pertamina adalah untuk keperluan 22 hari.

Untuk lebih jelasnya kebutuhan perhitungan persediaan dalam rangka operasi Bulog 2018 sebagai berikut. Pertama, untuk keperluan cadangan beras pemerintah yang merupakan persediaan minimal pada akhir Desember 2017 adalah 1,2 juta ton. Selanjutnya, untuk cadangan berjalan tahun 2018, Bulog yang masih perlu melayani raskin untuk 5 juta rumah tangga sasaran kira-kira 900.000 ton dan untuk kebutuhan OP 2018/2019 kira-kira 1 juta ton. Keadaan ini dengan asumsi apabila produksi beras tahun 2018 dalam keadaan normal atau masih naik minimal 3 persen, tidak banyak gangguan terhadap produksi padi.

Kendala lain yang membatasi pengadaan Bulog adalah tersedianya anggaran PSO oleh Kementerian Pertanian untuk membayar selisih harga antara harga beli beras Bulog dan harga pembelian sesuai Inpres No 5/2015. Apabila selisih harga Rp 1.000/kg, untuk pengadaan 2 juta ton setara gabah saja diperlukan anggaran Rp 2 triliun. Kemudian untuk selisih harga antara harga pokok Bulog dan harga jual, misalnya Rp 2.000/kg, maka untuk OP sebesar 1 juta ton diperlukan anggaran Rp 2 triliun. Sementara untuk penambahan anggaran guna mencapai tingkat stok minimal 1,2 juta ton diperlukan tambahan anggaran kira-kira Rp 10 triliun.

Dulu untuk operasi cadangan berjalan (working stock) dan CBP itu menyatu dalam manajemen persediaan operasi raskin, tetapi mulai tahun 2018 hal tersebut dipisahkan, yakni setelah adanya penggantian program raskin sebesar 10 juta RTS dalam bentuk kupon. Kalau dulu program penyaluran raskin juga merangkap sebagai instrumen stabilisasi harga, sekarang hal tersebut terpisah, di mana keduanya sama-sama membutuhkan biaya yang besar. Demikian juga untuk OP, kalau dulu cukup digelontorkan melalui alokasi raskin ke-13 dan ke-14, sekarang dilakukan sendiri-sendiri dengan konsekuensi anggaran masing-masing.