Dunia berkembang begitu cepat. Sayang, kemampuan manusia untuk beradaptasi sering kali tidak secepat dengan perkembangan tersebut.

Hal ini di satu sisi menandakan kemajuan dunia, tetapi di sisi lain menimbulkan kerentanan bagi suatu bangsa. Kerentanan yang timbul antara lain karena ketakmampuan mengendalikan perubahan sehingga menggerus apa yang menjadi inti karakter dan identitas suatu bangsa.

Bung Karno pernah berucap, "Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, punya karakteristik sendiri. Oleh karena itu, pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan sebagainya."

Karakter dan identitas bangsa Indonesia itu bernama Pancasila. Perkembangan dunia yang begitu cepat (suka tidak suka) telah menggerus nilai-nilai Pancasila kita. Apatah nilai-nilai beragama (religiusitas) yang menekankan etika dan moral dalam kehidupan mendapatkan ancaman dari kebebasan (tanpa batas) yang makin dominan dan eksesif. Demikian halnya dengan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan kegotongroyongan menghadapi tantangan dari nilai-nilai baru, seperti individualis, konsumeris, asosial, apolitik, dan seterusnya.

Era milenial

Berkenaan ancaman dan tantangan di atas, saat ini kita mengalami fenomena surplus demografi yang berkelindan dengan kemajuan dalam dunia teknologi informasi (TI). Fenomena ini membentuk model anak-anak zaman dengan karakternya sendiri, yang kemudian kita kenal dengan "generasi milenial" (generasi "Z"). Generasi ini ditandai dengan kedekatan, bahkan keterikatannya dengan dunia maya yang jauh lebih intens daripada aktivitasnya di dunia nyata. Fenomena ini memang tidak bisa digeneralisasikan karena faktanya di perdesaan (terlebih lagi pedalaman) di mana infrastruktur dan akses internet buruk/sulit bisa jadi "demam" ini tidak terjadi kepada mereka.

Fenomena milenial juga kemungkinan besar hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, terutama yang memiliki akses luas pada TI (internet). Generasi ini terlahir dalam kisaran 1982-2002 dan mengalami apa yang disebut google generationnet generationgeneration Z,echo boomers, dan dumbest generation(Absher & Amidjaya, 2008). Ciri mereka, menurut Tapscott (2008), suka dengan kebebasan, senang melakukan personalisasi, mengandalkan kecepatan informasi
yang instan, suka belajar dan bekerja dengan lingkungan inovatif, aktif berkolaborasi dan hyper technology.

Alvara Research Center menyebut generasi milenial memiliki tiga macam karakter unggul, yaitu: (1) creative, mereka terbiasa berpikir out of the box, kaya ide dan gagasan; (2) confidence, mereka sangat percaya diri dan berani mengungkapkan pendapatnya tanpa ragu-ragu; dan (3)connected, mereka merupakan generasi yang pandai bersosialisasi, terutama dalam komunitas yang mereka ikuti. Selain itu, mereka juga berselancar di sosial media dan internet.

Karena aktivitasnya yang serba instan, praktis, dan mengandalkan kemudahan TI, generasi ini memiliki kelemahan, utamanya ketergantungan yang tinggi terhadap internet dan media sosial. Akibatnya, mereka menjadi pribadi yang cenderung malas, tidak mendalam, tidak membumi atau tidak bersosial. Selanjutnya, mereka cenderung lemah dalam nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, kehangatan lingkungan, dan kepedulian sosial. Sosial media juga memengaruhi watak dan kebiasaan mereka yang cenderung bebas, kebarat-baratan, tak memperhatikan etik dan aturan formal, adat istiadat, serta tata krama.

Kerentanan Pancasila

Generasi milenial secara tidak sadar—untuk sebagian besar— mengalami alienasi dari nilai-nilai Pancasila. Ini terjadi karena mereka tidak mengenal (atau tidak dikenalkan) nilai-nilai Pancasila secara baik. Negara tidak—atau setidak-tidaknya belum—memiliki instrumen sosialisasi dan internalisasi Pancasila yang baik kepada generasi ini. Sementara pada saat bersamaan, mereka terpapar nilai-nilai luar/asing melalui internet dan sosial media, yang notabene lebih menarik dan atraktif, betapa pun sebagiannya tidak sesuai atau bertentangan dengan Pancasila.

Di sana bergumul berbagai macam ideologi, mulai dari liberalisme, kapitalisme, sekularisme, sosialisme, komunisme, hingga radikalisme. Ideologi baru ini bisa jadi lebih menarik bagi generasi muda karena memenuhi harapan mereka atas pola-pola baru, cara berpikir, dan cara bertindak yang mereka minati. Sementara di sisi lain, ideologi Pancasila mereka anggap tidak menarik, kuno atauout of date. Akhirnya, yang terjadi: mereka lebih menggandrungi ideologi- ideologi baru dan bahkan menjadikannya sebagai gaya hidup.

Sebagian masyarakat lebih tertarik pada dan mempraktikkan ideologi liberal. Budaya kita semakin terbuka, bebas, bahkan kebablasan. Individualisme, materialisme, konsumerisme, dan isme-isme lainnya menjadi gaya hidup yang merebak di kalangan warga bangsa, terutama generasi muda. Ini juga yang mendasari isu bangkitnya paham komunisme atau berkembangnya radikalisme yang seolah menjanjikan penyelesaian masalah secara pintas (padahal fatalis).

Fenomena di atas tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan generasi muda (milenial) yang serba instan, jalan pintas, tidak mendalam, mencari kemudahan dan kesenangan sehingga dengan mudah terpikat dan terjerumus dalam isme-isme baru yang lebih seksi dan atraktif. Akhirnya, ideologi Pancasila lambat laun mulai kikis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan negara pun kehilangan rohnya.

Jika Pancasila sebagai karakter dan identitas bangsa mulai meluntur, ini pertanda bahaya, bisa mengindikasi bangsa yang sedang sakit. Kondisi ini bisa mengarah pada negara gagal. Negara gagal di sini tidak harus secara struktural negara itu bubar atau runtuh, tetapi negara gagal bisa dipandang dari segi kualitas, yakni sebagai negara yang tak punya "roh" karena kepribadiannya pelan-pelan tergerogoti. Bangsa kita (bisa) kehilangan arah dan kendali, merebak penyakit sosial, dekadensi moral dan akhlak generasi muda, pengabaian etika dan hukum, disintegrasi, dan turbulensi sosial ekonomi. Itu semua ciri negara gagal, seperti diduga Noam Chomsky (2006).

Itulah setidaknya kekhawatiran yang pernah penulis sampaikan secara pribadi kepada Presiden dalam Forum Konsultasi Pimpinan Lembaga Negara setahun silam, menanggapi paparan kemajuan-kemajuan yang dicapai pemerintah. Tidak bisa dimungkiri bahwa efek dari pembangunan infrastruktur yang intens diprediksi dalam 5-10 tahun ke depan Indonesia akan jauh lebih maju. Tetapi, penulis khawatir Indonesia yang kita temukan bukan Indonesia seperti yang diharapkan para pendiri bangsa, melainkan Indonesia yang kehilangan roh. Indonesia maju, tetapi liberal; Indonesia maju, tetapi tak punya jati diri.

Ini semua terjadi karena kita abai pada inti karakter dan identitas kita sebagai bangsa. Inilah dampak dari reformasi yang kebablasan sehingga menghasilkan kebebasan tanpa batas.

Revitalisasi Pancasila

Pancasila tentu tidak dimaksudkan untuk steril dari pengaruh perkembangan zaman. Zaman boleh berubah, tetapi nilai-nilai Pancasila harus tetap relevan, tumbuh, dan berkembang sebagai karakter dan kepribadian bangsa. Upaya memasyarakatkan Pancasila harus dilakukan dengan kreatif-atraktif agar tertanam efektif pada semua lapisan masyarakat, termasuk kepada generasi milenial. Pancasila tidak harus selalu ditampilkan secara kaku, yang terpenting hakikatnya tetap terpelihara dan diamalkan.

Ambil contoh budaya orang Jepang yang menghormati senioritas masih tertanam kuat pada struktur perusahaan dan masyarakat Jepang hingga hari ini di tengah kemajuan yang mereka capai. Kita sejatinya juga punya nilai-nilai yang merupakan pengamalan Pancasila, yakni tradisi menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Di samping itu, ada tradisi gotong royong, semangat kekeluargaan, tepo seliro atau tenggang rasa, dan lain-lain. Nilai dan tradisi tersebut semestinya tetap tertanam kuat dalam kepribadian bangsa.

Generasi milenial punya keunggulan, yaitu pribadi yang kreatif, percaya diri, dan selalu terhubung atau membangun kolaborasi. Keunggulan ini harus bisa dimanfaatkan semua pihak untuk lebih menanamkan nilai- nilai Pancasila dengan cara-cara yang sesuai dengan karakter mereka.

Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk terus merevitalisasi Pancasila sebagai identitas dan karakter bangsa hingga Pancasila dapat seiring sejalan dengan kemajuan zaman. Meski demikian, ada saatnya negara tetap harus tegas mengatakan bahwa nilai-nilai tertentu tidak sesuai dan bertentangan dengan Pancasila. Di situlah martabat kita sebagai bangsa diuji.