Dengan kucuran dana bantuan operasional sekolah (BOS) ini, tidak ada lagi alasan bagi orangtua untuk tidak menyekolahkan anaknya yang berusia 7-15 tahun karena faktor biaya. Sebab, biaya pendidikan sepenuhnya ditanggung pemerintah. Orangtua hanya tinggal memikirkan biaya untuk kebutuhan personal anak, seperti seragam, alat tulis, dan sepatu.

Bank Dunia memuji keberhasilan dana BOS ini karena mampu membuka akses luas bagi masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah, untuk menikmati pendidikan dasar. Keberhasilan yang dipuji Bank Dunia ini antara lain diukur dari meningkatnya angka partisipasi kasar SMP yang stagnan selama bertahun-tahun, tetapi meningkat signifikan ketika dana BOS mulai dikucurkan.

Angka partisipasi kasar SMP tahun 2005, misalnya, yang baru 85,2 persen, naik pada 2006 menjadi 88,6 persen dan terus meningkat setiap tahun hingga mencapai 98,11 persen pada 2009.

Tidak sia-sia pemerintah mengucurkan dana besar untuk alokasi dana BOS karena dinikmati langsung manfaatnya oleh masyarakat. Tidak kurang 44 juta siswa SD dan SMP serta siswa madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah merasakan manfaat dana BOS ini.

Karena dirasakan manfaatnya, alokasi dana BOS terus meningkat setiap tahun dari awalnya Rp 5,1 triliun pada 2005 menjadi Rp 16 triliun pada 2009. Bahkan, sejak 2012 dana BOS juga untuk siswa SMA, SMK, dan madrasah aliyah. Alokasi dananya melonjak menjadi Rp 45,1 triliun pada 2017.

Sayang, seperti diungkap harian ini kemarin, penyaluran dana BOS ke sekolah tersendat, terutama setelah Mahkamah Konstitusi tahun ini memutuskan pengelolaan SMA/SMK menjadi kewenangan provinsi. Akibat tersendatnya penyaluran dana, tidak sedikit sekolah yang terpaksa menunggak pembayaran listrik, air, bahkan honorarium guru tidak tetap. Banyak pula kepala sekolah yang terpaksa mengutang ke sejumlah pihak untuk pembelian alat-alat tulis yang tidak bisa ditunda.

Kita menyayangkan keterlambatan dalam penyaluran dana BOS ini karena kenyataannya sudah sangat mengganggu kegiatan belajar-mengajar jutaan siswa.

Ada perbedaan acuan antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga penyaluran dana BOS tidak bisa lagi langsung ke rekening sekolah, tetapi harus melalui provinsi. Penyalurannya pun tidak lagi setiap tiga bulan, tetapi menjadi setiap enam bulan.