Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Saya berumur 11 tahun saat itu, tetapi saya mengerti kebijakan itu membuka keran keberagaman yang lama tersumbat.

Sepanjang hayatnya, Gus Dur kerap melontarkan pemikiran yang melampaui zamannya. Itu sebabnya, ia sering dianggap kontroversial. Padahal, pesan-pesan dan prinsip besarnya berakar pada satu nilai universal: kemanusiaan.

Kita dapat melihat cerminan kemanusiaan Gus Dur dalam upayanya menjalin kedekatan dengan para eks tapol dan mendorong rekonsiliasi terkait tragedi 1965, membubarkan Departemen Penerangan demi memberikan ruang seluas-luasnya bagi kebebasan pers, dan berkampanye bagi Ahok di Pilgub Bangka Belitung tahun 2007. Dalam segudang humornya yang nakal, tetapi luar biasa cerdas, ia konsisten mengkritik ketidakadilan.

Rekam jejak Gus Dur menunjukkan bahwa ia tak pernah pilih-pilih manusia. Semuanya setara sebagai warga negara walaupun latar belakang berbeda-beda. Beliau menjadi teladan segar bahwa kita sepatutnya tak hanya merayakan pluralitas, tetapi juga menghidupinya bersama-sama.

Belakangan ini kecenderungan yang mencuat justru berkebalikan. Penggunaan kata pribumi dalam pidato perdana Gubernur DKI periode 2017-2022 telah sukses mereduksi nilai kemanusiaan, terutama atas sesama warga negara yang dianggap tidak masuk kategori kata tersebut. Ketika kita sebagai bangsa seharusnya bergerak meninggalkan sekat-sekat primordialisme, pada saat yang sama sentimen-sentimen terkait malah ramai bermunculan. Dikotomi "asli" dan "pendatang" agaknya sengaja dipelihara guna melayani kepentingan politik sesaat.

Kondisi seperti ini jelas tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Segala jenis kebijakan politik yang melanggengkan penyekatan harus segera disingkirkan agar rasa kemanusiaan kembali memenuhi hati dan kepala masing-masing.

Sebentar lagi generasi milenial (termasuk saya) mengambil alih kepemimpinan negeri. Berkaca dari dinamika politik yang ada kini, rasanya kita wajib mengingat serta mempelajari kembali berbagai petuah bijak Gus Dur.

Kita harus serius mengembangkan gagasan edukasi politik bahwa setiap orang yang lahir dan hidup di republik ini adalah warga negara Indonesia tanpa memandang warna kulit, bahasa daerah, bahkan agama atau kepercayaan.

Jonathan Manulang, Jalan Dr Susilo, Grogol, Jakarta Barat

 

Tagihan Bengkak

Saya pengguna nomor Indosat Ooredoo (0816xxxxx51). Pada 9 Oktober pukul sembilan pagi, saya membeli paket jelajahan internasional Indosat Ooredoo (Asia dan Australia) yang berlaku tujuh hari ke depan. Siang setiba di Bandara Changi, Singapura, saya aktifkan ponsel dan paket tersebut.

Sore kami berlayar dengan kapal pesiar Singapura-Penang, Malaysia. Saya mengaktifkan data mobil pada ponsel saya dan membaca pesan WA saja. Esoknya pada pukul enam pagi saya menerima informasi dari Indosat Ooredoo bahwa terdapat tagihan jelajahan internasional untuk nomor saya lebih kurang Rp 4 juta. Ketika itu kapal pesiar jelas-jelas masih berada di zona Asia. Setelah itu saya tak berani lagi mengaktifkan ponsel sepanjang perjalanan.

Setelah pulang dari Singapura, saya melaporkan masalah ini ke sentral aduan dan gerai utama Indosat Ooredoo. Pada kunjungan ketiga di gerai utama, bagian Layanan Pelanggan menyatakan, nilai tagihan tersebut terjadi karena ketika berlayar di kapal pesiar, kami berada di luar zona paket sehingga ponsel terhubung dengan satelit dan biaya jelajahan tidak ditanggung oleh paket yang telah diaktifkan.

Saya tak tahu sama sekali peraturan itu sebelumnya karena tak ada pemberitahuan sedikit pun ketika saya pertama kali bertanya tentang paket jelajahan kepada Layanan Pelanggan ataupun ketika paket sudah aktif.

Saya telah melaporkan berkali-kali ke Layanan Pelanggan, tetapi saya tidak diberi kesempatan berbicara dengan atasan yang berwenang dan saya tetap diharuskan membayar. Saya sangat kecewa terhadap pelayanan Indosat Ooredoo dan saya merasa diperlakukan tidak adil sebagai pelanggan. Adakah syarat tersembunyi pada paket Indosat Ooredoo yang kemudian merugikan konsumen?