Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pekan lalu, mencatat ada 19,4 persen orang muda berusia 15-24 tahun yang menganggur. Proporsi orang muda yang tidak bekerja dan tidak mengikuti pendidikan atau pelatihan besarnya 23,2 persen. Sebagian besar yang bekerja pun ada di sektor informal dan membahayakan atau tidak layak.

Salah satu rekomendasi ILO adalah pemanfaatan teknologi digital. Untuk itu perlu pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Disrupsi akibat kehadiran teknologi digital dialami seluruh dunia. Negara-negara kaya anggota Organisasi Kerja Sama Pembangunan Ekonomi (OECD) memberi perhatian pada penguasaan teknologi digital, terutama bagi perempuan yang masih tertinggal.

Teknologi digital seperti pedang bermata dua. Pada satu sisi, teknologi ini meningkatkan produktivitas dengan mempermudah dan memperluas keterhubungan, mempercepat pekerjaan pengarsipan, pencarian data, dan banyak lagi. Pada sisi lain, teknologi digital mengubah banyak hal, mulai dari cara berkomunikasi hingga model bisnis.

Ke depan, teknologi digital membuka banyak lapangan pekerjaan baru, sekaligus menggantikan pekerjaan manusia melalui penggunaan robot dan otomasi. Laporan ILO 2016 tentang transformasi di ASEAN memprediksi, dalam dua dekade ke depan, 56 persen lapangan kerja atau sekitar 60 juta pekerjaan oleh orang akan digantikan otomasi.

Lapangan kerja yang termasuk paling terpengaruh adalah tukang kebun, penjual di toko, pekerja administrasi kantor, dan tukang jahit. Sektor yang akan sangat tergeser otomasi adalah konstruksi dan eceran. Otomotif serta tekstil dan produk tekstil (TPT) juga terpengaruh, terutama pekerjaan dengan keterampilan rendah hingga sedang. Perempuan pekerja sektor TPT paling berisiko tergeser otomasi. Jumlah perempuan di sektor ini 60 persen.

Prediksi tentang disrupsi akibat teknologi digital mengingatkan agar penguasaan SDM akan teknologi digital sudah harus terjadi, tidak dapat lagi hanya berwacana. Saat ini, separuh tenaga kerja kita berpendidikan SMP ke bawah. Namun, pertama-tama, Indonesia harus memiliki arah, strategi, dan kebijakan pengembangan tenaga kerja menuju industrialisasi yang jelas dan konsisten.

Industri yang dibutuhkan, setidaknya hingga dua dekade ke depan, adalah sektor manufaktur dan berjalan seiring dengan industri teknologi dan informasi berbasis digital. Perhatian khusus juga perlu diberikan pada industri pangan dan pertanian serta ekonomi kreatif nondigital.