Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 Desember 2017

Surat Pembaca: Ini Pajak atau Hukuman?//Pagar Hilang dan Proyek Galian DKI//Agar Ahli Tani Turun ke Desa (Kompas)

Ini Pajak atau Hukuman?

Saudara saya membeli sebidang tanah seluas 180 meter persegi di Kota Ternate, Maluku Utara, pada 2014 seharga Rp 45 juta. Pada 2017, ia mengurus sertifikat pemisahan dari induk.

Hitungan yang ia terima sebagai berikut. Harga nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah per meter persegi adalah Rp 243.000. Bangunan dihargai Rp 310.000 per meter persegi. Maka, total NJOP adalah Rp 99.540.000.

PPh final untuk pengalihan hak dikenai 5 persen dari total NJOP, yakni Rp 4.977.000. Selanjutnya, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dari Dinas Pendapatan Daerah dikenai 5 persen dari (total NJOP dikurangi Rp 60.000.000), yakni Rp 1.977.000. Maka, pajak yang harus dibayar: Rp 4.977.000 ditambah dengan Rp 1.977.000, yaitu Rp 6.954.000.

Pertanyaan saya, mengapa untuk satu obyek dikenai pajak dua kali? Mengapa bangunan yang tidak termasuk dalam transaksi jual beli tetap dikenai pajak? Berapa lama interval waktu terjadi jual beli dengan pengurusan faktualisasi pajak hingga dikenai 5 persen?

Orang menjual tanah miliknya karena butuh uang, maka sering harganya di bawah harga pasar. Oleh karena itu, banyak orang di Ternate mengeluhkan mahalnya biaya mengurus sertifikat tanah.

Paling tidak, harus siap sekitar Rp 10 juta, sementara menurut penjelasan pejabat terkait dalam pemberitaan, kita cukup membayar Rp 50.000 untuk sertifikat jadi. Ini sebenarnya wajib bayar pajak atau hukuman?

Firdaus
Toboleu, Ternate Utara

Pagar Hilang dan Proyek Galian DKI

Di sepanjang Jalan Kedoya Raya (Jakarta Barat), tepatnya di sisi timur, saat ini sedang dilakukan pemasangan saluran air hujan dengan menggali bekas trotoar selebar 3 meter dan kedalaman 3 meter. Persis di depan rumah kami.

Pada 22 November lalu, tiang kabel listrik dari bahan beton di depan pagar rumah kami tergelincir, masuk ke dalam galian, ambruk ke arah rumah kami, dan menghantam pagar rumah sehingga keseluruhan pagar longsor masuk ke dalam galian.

Sampai tulisan ini kami buat, tiada seorang pun dari kontraktor proyek datang mempertanggungjawabkan keteledoran yang bikin kami tidak nyaman (sebab pada 12 Desember lalu seorang pencuri masuk ke halaman rumah).

Mohon pejabat Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta memperhatikan keluhan kami. Jangan sampai proyek selesai, pagar kami hilang ditelan bumi.

M Tamtana
Jalan Kedoya Raya 99, Jakarta Barat

Agar Ahli Tani Turun ke Desa

Dalam opini Kompas (15/12), "Merebut Masa Depan Pertanian", Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB Sofyan Saf sangat brilian dan menyentuh.

Ia mengemukakan isu strategis untuk menggerakkan petani dan pemuda desa agar transformatif dan partisipatif sebagai jawaban sekaligus solusi untuk Indonesia kuat.

Pendapat pakar ini disajikan secara menarik. Dimulai dengan analisis bahwa telah terjadi penyimpangan pembangunan pertanian dan desa yang tidak bersesuaian dengan konteks sosio kultur bangsa ini, kemudian dilengkapi dengan fakta tentang pertanian di negeri kita saat ini, dan dilanjutkan dengan berbagai inovasi yang memperkuat serta memberdayakan petani dan pemuda desa.

Tulisan yang enak dibaca itu secara rinci menyajikan kejadian nyata dan data lapangan yang kasatmata dengan harapan, pemerintah tanggap dan kasih perhatian penuh.

Sudah bukan saatnya lagi para ahli pertanian berdiam diri dengan data yang ada di tangan para pengambil keputusan. Segeralah mengimplementasikannya. Jangan biarkan data pemetaan daerah pertanian hanya hiasan di kalangan akademisi.

Jangan lupa, tentang ukuran pupuk yang tepat saja, petani tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Menyekolahkan anak petani ke SMK pertanian? Jauh dari kampungnya dan mahal. Mestinya sekolah semacam ini lokasinya di desa.

Pak Sofyan Saf maju terus dengan tulisan yang enak dibaca dan menginspirasi.

Semoga para ahli pertanian di negeri ini mau sama-sama turun ke desa. Tak usah terlalu jauh, di sekitar Jawa Barat saja masih banyak petani menantikan jawaban dari para ahli.

JIMMY SANDJAJA

Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat

Kompas, 27 Desember 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger