Perkembangan terakhir situasi regional kian mempertegas relevansi Deklarasi Djuanda yang genap berusia 60 tahun pada 13 Desember lalu.

PM Djuanda Kartawidjaja, tahun 1957, mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan. Lewat deklarasi ini, laut di antara pulau-pulau di Indonesia dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayah negara. Dengan kata lain, laut di antara pulau-pulau Indonesia tak bisa begitu saja diklaim sebagai wilayah internasional.

Baru 25 tahun kemudian, Deklarasi Djuanda mendapat peneguhan dari dunia internasional, yakni saat terbentuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Lewat konvensi ini, diatur antara lain zona wilayah laut yang menjadi hak pengelolaan negara-negara.

Pada 60 tahun Deklarasi Djuanda, tantangan baru menghadang Indonesia. Spirit kemaritiman yang terkandung dalam deklarasi itu menghadapi kenyataan bahwa China telah menjadi kekuatan besar yang sangat berpengaruh. Klaim sembilan garis putus-putus Beijing di Laut China Selatan menciptakan ketegangan yang tak mudah diatasi. Anggota ASEAN yang bersengketa dengan China terkait klaim sembilan garis putus-putus itu ialah Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Adapun Indonesia tak termasuk sebagai pihak yang bersengketa.

Namun, terkait dengan klaim Beijing atas wilayah Laut China Selatan, tetap saja ketegangan terjadi antara Indonesia dan China. Pada tahun lalu, dengan dibantu kapal patroli negara itu, kapal pencari ikan China mencari tangkapan hingga ke wilayah perairan Natuna.

Meski tak termasuk dalam cakupan klaim sembilan garis putus-putus, perairan Natuna rupanya dinyatakan oleh China sebagai wilayah tangkapan nelayan mereka. Hal ini tak sesuai dengan UNCLOS. Di area perairan Natuna selama ini memang terjadi tumpang tindih wilayah pengelolaan. Namun, tumpang tindih itu terjadi di antara Indonesia, Malaysia, dan Vietnam, yang penyelesaiannya ditempuh secara bilateral.

Dalam konteks itulah pernyataan pakar hukum internasional dari Universitas Nasional Singapura, Robert Beckman, pada simposium Hari Nusantara (hari peringatan Deklarasi Djuanda) di Jakarta, Rabu lalu, terasa tepat. Sebagaimana diberitakan harian ini, ia meminta Indonesia aktif di forum-forum internasional agar perbedaan pemahaman UNCLOS tidak sampai menimbulkan kerugian.