Harian Kompas edisi 4 januari 2018 memaparkan kondisi kerusakan Sungai Citarum yang sudah mencapai tingkat membahayakan terkait kualitas dan kuantitas air.

Air yang ada nyaris tak lagi layak dipakai untuk kebutuhan rumah tangga akibat pembuangan sampah dan limbah beracun yang melampaui batas.  Hal yang sama juga terkait penurunan kuantitas air saat kemarau dan banjir di musim hujan akibat deforestasi dan degradasi lahan di wilayah hulu.  Bahkan, ironisnya, kerusakan Citarum ternyata berlangsung jauh lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan upaya perbaikan yang dilakukan.  

Apa yang dipaparkan Kompasmenggambarkan bahwa kondisi kritis Citarum pada dasarnya terkait tata kelola air, kualitas kebersihan air dan ketahanan (ketersediaan) air. Upaya mengatasi kondisi kritis ini sesungguhnya telah dilakukan pemerintah sejak 2006 melalui kebijakan dan berbagai program pengelolaan sumber daya air Citarum secara terpadu.  Namun, kebijakan dan program yang ada ternyata gagal menyelesaikan tiga faktor penyebab kerusakan Citarum.

Pertama, kemerosotan fungsi daerah aliran Sungai Citarum tak terlepas dari arah kebijakan pembangunan daerah yang kurang menghitung faktor ketergantungan ekonomi warga  pada dataran tinggi.  Boleh dikatakan pembangunan infrastruktur jalan, akses transportasi, energi, dan sarana produksi di dataran tinggi  jauh dari memadai.

Alhasil, biaya transaksi yang ditanggung warga yang tinggal di wilayah hulu sungai sangat mahal dan tidak sebanding dengan hasil yang diterima, terlebih lagi dengan keterbatasan sumber daya penghidupan yang dimiliki warga. Karena itu, pilihan paling mudah adalah  mengokupasi kawasan hutan dan sempadan sungai untuk permukiman dan kegiatan pertanian. Akibatnya, luas tutupan hutan dalam cakupan wilayah Sungai Citarum mengalami penurunan dari 5 persen pada 2009  jadi 3,25 perseb pada 2013 (Badan Informasi Geospasial, 2013).

Kedua, kegagalan mengoordinasi dan menyinergikan sumber daya di antara pihak yang terkait langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sungai Citarum yang berjumlah sekitar 102 instansi, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil (di luar industri yang sudah beroperasi di sepanjang wilayah sungai). Pemerintah yang bertanggung jawab menjaga kelangsungan fungsi Citarum ternyata belum mampu mengoptimalkan peran swasta untuk lebih aktif menjaga dan memelihara ekosistem Citarum.

Bahkan, ironisnya, banyak sektor swasta yang justru melanggar dan berkontribusi terhadap kerusakan Citarum dengan membuang limbah ke sungai. Dari 600 industri tekstil di daerah Majalaya, ternyata hanya 10% yang punya instalasi pengolahan air limbah secara standar. Alhasil, setiap hari diperkirakan 280 ton limbah industri tekstil yang mengandung logam berat dibuang ke sungai.

Ketiga, kesadaran masyarakat untuk menjaga fungsi Citarum bukannya tak ada sama sekali. Ada sejumlah inisiatif masyarakat yang positif dalam kegiatan konservasi, pengolahan sampah, pendidikan lingkungan, dan lainnya. Hanya saja inisiatif-inisiatif yang ada umumnya berskala kecil dan keberlanjutannya rendah. Ini akibat kegagalan pemerintah dan masyarakat sipil membangun serta menggalang  kerja sama dan kesepakatan di antara komunitas dalam pengelolaan dan pemanfaatan Citarum yang lebih luas.

Pemberdayaan dan keterlibatan komunitas lokal umumnya diarahkan untuk bertanggung jawab atas tata kelola sumber daya air di lokasi (desa) sendiri. Sementara kerja sama antar-warga (komunitas) sebagai bagian dalam kerangka pengambilan keputusan kolektif atas krisis Citarum, yang oleh Ostrom (1999) disebut dengan pengaturan sendiri (self governing), nyaris kurang dilakukan.

Pengelolaan bersama

Kerusakan Sungai Citarum sesungguhnya juga terjadi di wilayah sungai yang lain, terutama di Pulau Jawa, sekaligus  merupakan cerminan dari kurang optimalnya pemerintah dalam mengelola sungai sebagai aset penting dalam menunjang pembangunan nasional. Sungai perlu dikelola secara kolektif yang melibatkan semua pihak terkait, baik di hulu maupun di hilir. Hal ini penting mengingat prinsip pengelolaan bersama—keterlibatan masyarakat lokal, swasta, dan negara—sekarang ini telah menjadi komponen utama dari sebagian besar program pembangunan. Bahkan, ia telah menjadi ciri penting dalam kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya air di tingkat global dengan skala yang luas.

Meskipun merupakan sumber daya publik, sungai bukan akses terbuka yang setiap pihak dapat memanfaatkan secara bebas tanpa aturan. Ada mekanisme pengecualian  yang memungkinkan pihak luar untuk menggunakan. Namun, sebagai milik bersama, pemanfaatan sungai harus berorientasi pada kebaikan atau kepentingan bersama bagi semua orang (pihak).  Karena itu, dibutuhkan kesepakatan sosial dari semua pihak dalam mengatur pelestarian, pemeliharaan, dan pemanfaatan secara bersama.

 Kemampuan mengelola sumber daya sungai dengan baik akan bergantung pada model interaksi antara pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan masyarakat lokal serta swasta. Karena itu, yang dibutuhkan bukan hanya modal sosial horizontal di tingkat anggota masyarakat, melainkan juga modal sosial secara vertikal yang dapat menghubungkan masyarakat lokal dan pemerintah pusat. Praktik seperti ini sebenarnya sudah berlangsung lama di Indonesia meski dalam skala terbatas, seperti kasus subak untuk pengelolaan irigasi di Bali.

Dalam kasus Sungai Citarum, pendekatan pengelolaan bersama menjadi penting untuk dipertimbangkan mengingat pendekatan yang ada selama ini hasilnya jauh dari yang diharapkan. Yang ada justru menghabiskan banyak waktu, mahal, dan merusak modal sosial, serta membuat kerusakan ekosistem sungai selama puluhan tahun sebagaimana dipaparkanKompas. Tragis!