Pengalaman mengikuti dua konferensi internasional, beberapa waktu lalu, makin terlihat betapa perguruan tinggi (kita) belum siap berhadapan dengan guncangan teknologi dan subyek pemerannya, yaitu generasi terbaru, the Zeds, generasi Z. Sementara pasar bisnis dan industri telah mempersiapkan diri.
Makhluk sosial
Anthony Salcito, Vice President, Worldwide Education, Microsoft, AS, dalam salah satu sesi konferensi internasional itu meyakinkan kita via satu kata kunci: phygital (physical+digital). Konsep ini senantiasa ada meskipun teknologi berkembang pesat, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kita adalah phygital, demikian pula dengan pendidikan, riset telah membuktikanblended learning selalu lebih mengena bagi peserta didik. Phygital juga menjamin proses kreatif dan berpikir kritis. Dua keterampilan berpikir yang membutuhkan teman, mitra.
Perkembangan teknologi ke arah teknologi komputasi jelas belum dapat menggantikan fungsi utama kerangka berpikir kreatif dan kritis yang diwadahi oleh hubungan dengan mitra. Perhatikan, bila demikian profesi yang tidak dikhawatirkan hilang dalam era disrupsi ini, salah satunya adalah profesi guru. Tetapi, tunggu dulu, yang dimaksud dengan guru yang akan bertahan adalah mereka yang siap bermitra, menjadi "pembina/pendamping" ketimbang menjadi pusat dalam proses pembelajaran.
Anthony Salcito juga menghibur kita. Katanya: "Technology in classroom was pioneered by only few and it was limited scope. Bold mandates for all digitization used to have limited impact. (Thus,) Scaling back to optimize technology to classroom scales will just work, so set it back. But this time, set it based on outcome-based mindset, rising of data analytics."
Pesannya jelas: kembali ke kelas, kembali ke kurikulum, kembali ke data per individu pemangku kepentingan, yaitu siswa dan dosen. Data administrasi akademik, data penilaian formatif, sumatif, penelitian setiap dosen, rekam jejak tiap mahasiswa, termasuk data sikap, perilaku, capaian, bahkan data sosial media. Bahwa teknologi belum secara konklusif meningkatkan pembelajaran, tetapi kesempatan terbuka luas lewat keterkaitan dan kolaborasi. Sekali lagi, data tiap individu yang disalingkaitkan akan menjadi data agregat.
Bayangkan apabila seorang pembimbing akademik merekam jejak mahasiswanya dalam survei profesionalitas, misalnya, ia juga dapat secara kontinu merekamnya bagi semua kelompoknya: dalam satu semester, dalam setahun, dalam empat tahun masa belajar. Lalu, bayangkan jika semua dosen pembimbing akademik merekam data yang sama, kita dapat mempelajari apakah benar pendidikan tinggi telah membentuk sikap profesional lulusannya?
Ini era kekuatan data. Dengan demikian, teknologi telah membantu pendidikan tinggi meningkatkan core valuesuniversitas. Syaratnya jelas, pendidikan tinggi perlu lebih personal dan responsif. Siapkah perguruan tinggi kita?
Arah masa mendatang mulai terbaca daribig data mining, cloud computing, dan selanjutnya learning machine. Bentukartificial intelligent, augmented intelligent, patterns recognition menjadi andalan perkembangan teknologi masa depan.
Salcito menegaskan, saat ini universitas membutuhkan kerangka kerja, kepemimpinan, dan kebijakan. Ia menyebutkan cetak biru teknologi perlu disusun universitas. Secepat apakah kita membuat cetak biru teknologi, sementara teknologi sudah melebihi kuadratik percepatannya? Apakah pendidikan tinggi akan tertinggal jauh? Ingat, modal kita adalah manusia.
Profesor Bertil Andersson, President Nanyang Technological University (NTU), menutup sebuah konferensi internasional yang lain dengan sangat menarik. Andersson sangat mewakili wajah internasionalisasi. Ia menempuh bachelor dalam bidang kimia di Australia, melanjutkan studi doktoral dalam bidang tersebut di Lund, Swedia. Selanjutnya, berkarier sebagai pengajar dan dekan di Linkoping University, Swedia, hingga 2003. Tahun berikutnya berpindah ke Perancis, menjadi chief executiveEuropean Science Foundation hingga 2007. Setelah itu, ia menjawab ajakan NTU menjadi provost hingga 2011 dan berlanjut sebagai Presiden NTU hingga tahun ini. Ia membuktikan universitas di Asia dapat memperoleh peringkat QS WUR dari posisi ke-77 (2008) hingga posisi ke-11 (2017).
Kiatnya, selain revitalisasi peneliti dan anggaran penelitian, adalah reformasi besar-besaran dalam edukasi di NTU. Reformasi edukasi menyentuh di tingkat ruang kelas. Perubahan cara mengajar dan belajar secara total. Andersson membaca arah perkembangan universitas masa kini pada ciri utilitas untuk masyarakat. Basisnya adalah asas manfaat atau penyelesaian masalah.
Oleh karena itu, universitas perlu kembali melihat fungsi sosialnya. Kemajuan teknologi e-learning tidak akan pernah menghancurkan universitas, tetapi akan memperkuatnya.
Mengapa demikian? Sebab, manusia tetap makhluk sosial, keunggulan universitas adalah tempat manusia berhubungan. Separuh dari populasi mahasiswa menemukan pasangannya di universitas. Artinya, universitas dapat terus bertahan sepanjang interaksi itu dibangun di dalamnya. Ada kontak personal antara dosen dan mahasiswa, mahasiswa dan mahasiswa. Ada jejaring dalam kerangka belajar dan berprofesi. Sekali lagi, interaksi dibangun dari unit terkecilnya, kelompok dosen dengan mahasiswa, ruang-ruang diskusi, ruang kelas, ruang-ruang interaksi.
Generasi Z
Dalam kedua aktivitas konferensi internasional itu terlihat betapa industri telah bersiap untuk menerima generasi masa kini. Lapangan pekerjaan disediakan sejak masa magang. Perusahaan siap dan dengan cepat menangkap napas generasi Z, generasi milenial.
Shaman, direktur Microsoft Malaysia, menyatakan, industri mau dan cepat bekerja sama dengan generasi Z karena dunia industri 2020 dan ke depan akan ditempati oleh para gen Z. Karena itu, pula mulai sekarang kita perlu belajar tentang mereka.
Ia menunjukkan kerja nyata Microsoft merekrut para generasi Z sejak mereka di perguruan tinggi, bahkan di sekolah menengah kejuruan. Karya mereka diuji dalam wadah yang profesional. Kontrak kerja cukup fleksibel, nyaman bagi generasi Z, tetapi juga menguntungkan bagi industri. Industri cepat menyadari bahwa generasi Z sudah masuk dunia kerja dan akan semakin banyak. Industri merasa mereka perlu melakukan pendekatan sejak dini.
Di sisi lain, pemerintah juga melakukan reformasi dalam penerimaan generasi terbaru ini. Sebagai contoh, Malaysia membuat kebijakan 2u2i dengan konsep separuh di universitas dan separuh waktu di dunia industri. Dato Seri Idris Jusoh, Menteri Pendidikan Tinggi Malaysia, menjadi menteri paling inovatif di pemerintahan Malaysia. Dato Idris Jusoh menunjukkan perlunya kepercayaan dan kecepatan menanggapi kerja sama antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri. Pemerintah perlu terbuka dan memberi dorongan sekuat tenaga sehingga ada jaminan bagi kedua belah pihak untuk bekerja sama. Akhirnya, di ujung kerja sama ini, rakyat diuntungkan. Jika industri (dan pemerintah) demikian siap, mengapa perguruan tinggi yang sudah mendalami generasi Z sejak tahun 2013, sudah mengalaminya dengan mahasiswa, masih saja gamang?
Refleksi ini berujung pada pertanyaan: sampai manakah perguruan tinggi Indonesia akan maju dalam persaingan global? Perbaikan pada level ruang kelas jelas jadi prasyarat untuk dapat bersaing. Contoh-contoh di atas mengungkapkan tak terelakkan lagi gerakan perlu berawal dari unit terkecil secara bersama secara sinergis. Unit terkecil, tempat kita kembali ke kelas.
Elisabeth Rukmini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar