DIDIE SW

.

Ayuk, saya akan menutup tahun ini dengan renungan positif tentang masa depan! Oh, tidak langsung menyangkut Indonesia. Peristiwa yang menjadi dasar renungan saya mengambil tempat di salah satu negeri penggembala unta di jazirah Arab, Abu Dhabi, di Emirat.…

Saya pikir, bukankah kita kelewat berprasangka terhadap penduduk negeri-negeri Baduy itu? Melihat penduduknya kaya raya atas dasar penjualan minyak saja, serta wanitanya tetap ber-abaya-ria, bukankah kita cenderung menggangap mereka kebal terhadap segala keterbukaan yang berarti? Seolah-olah terpatri untuk selamanya kodrat Wahabi garis keras pada jati diri mereka! Namun, kita keliru!

Lihat saja apa yang dilakukan mereka? Yang kini dibangun bukan lagi sekadar gedung pencakar langit, bank, dan resor mewah, melainkan museum: tempat di mana manusia diajak berpikir tentang kreativitas dirinya. Pada 8 November 2017 diresmikan di Abu Dhabi suatu cabang Museum Le Louvre dari Paris. Di dalam pendirian museum rancangan arsitek kesohor Jean Nouvel ini, Perancis tentu saja mempunyai tujuan tersendiri: Menegakkan kehadirannya di Timur Tengah melalui jurus budaya. Ekonomi diharapkan menyusul. Bisa jadi Perancis bukan lagi raksasa ekonomi atau politik dibandingkan Amerika atau China, tetapi ia tetap merasa dirinya suatu raksasa di dalam bidang budaya adiluhung: seni, sastra, filsafat dan art film. Le Louvre Abu Dhabi adalah sarana soft power-nya untuk menawarkan ragam universalisme buah Revolusi Perancis 1789. Apa ciri utama universalisme itu: keterpisahan antarnegara dan agama!!! Maka mulai menarik memperbincangkannya!!

Apakah Perancis tengah mimpi? Belum tentu. Lihat saja apa yang dilakukan para pemimpin Abu Dhabi: Museum Le Louvre miliknya kini tidak lagi sekadar menampung karya-karya seni biasa, tetapi juga sebuah karya agung hasil ciptaan dari seniman yang dianggap sang maestro di antara semua maestro, yaitu Leonardo da Vinci (1452-1519). Karya itu adalah "Salvator Mundi", sebuah lukisan yang konon dibeli oleh seorang pangeran Arab Saudi seharga 450 juta dollar AS.

Pers dunia tentunya langsung heboh karena harga karya itu –suatu kritik terhadap kefoyahan khas para pangeran Arab. Namun, bila kita menilik lebih jauh, apa yang kita dapat saksikan: "Salvator Mundi" adalah lukisan yang bertema Yesus Kristus. Judulnya tak dapat diragukan, artinya: Penyelamat Dunia!! Judul seperti itu tidak akan memancing kehebohan di Perancis atau Eropa pada umumnya, di mana semua figur-figur dan lambang-lambang agama boleh dikritik atau bahkan dinistakan seenaknya. Tidak juga akan menimbulkan reaksi di Indonesia, di mana agama-agama seolah-olah disamaratakan posisinya atas nama Pancasila. Namun, bukankah Abu Dhabi menerapkan hukum syariah!! Jadi, di tengah negeri Islam itu terdapat suatu karya seni yang, di dalam benak penciptanya, melambangkan keunggulan Kristiani dan sekaligus keunggulan kultural Abu Dhabi. Paradoks yang luar biasa, kan!!

Namun, jangan disalahtanggapi. Pemajangan lukisan "Salvator Mundi" ini tidak dipersepsikan oleh pemiliknya sebagai ancaman religius; tidak juga dikritik sebagai ke-eka-an Tuhan yang tidak sempurna sebagaiman lazim dilakukan oleh para ulama perihal Yesus. Dia dipersepsi sebagai pengejawantahan keindahan. Dan, hal ini bukan tanpa makna dari sudut evolusi pemikiran dunia Arab. Dan, dari sudut revolusi tafsir agama. Kini, para kaum elite Arab tertentu tengah mengatakan bahwa produk budaya jangan lagi dilihat dari sudut keyakinan personal atau pun kolektif, tetapi diapresiasi dari sudut kandungan keindahan.

Lebih jauh lagi, evolusi pemikiran itu berarti bahwa di jantung tanah Islam tengah terjadi suatu pemisahan konseptual/tafsir antarbidang yang bersifat profan dan yang bersifat sakral. Yang tidak lagi bertentangan, melainkan bisa dan boleh berkelindan satu sama lainnya pada tataran realitas sehari-hari.

Sebagai penutup, mari napak tilas sejenak. Ketika, kurang-lebih 500 tahun silam, Leonardo da Vinci menggambarkan "Salvator Mundi", sembari mempelajari anatomi tubuh sebagai pengetahuan, dia pun tengah membedakan keyakinan dan keindahan. Lalu, yang mana lebih luhung; keyakinan atau keindahan?

Kompas, 31 Desember 2017